Tuesday, May 24, 2011

Ayu Sang Kekasih 02

Sambungan dari bagian 01

Pertemuanku dengan Ayu berikutnya terjadi beberapa bulan kemudian. Waktu itu aku sedang menyiapkan tugas akhir kuliahku. Ia mengantar ibunya yang datang untuk suatu urusan dagang ke kota tempat aku studi. Aku sudah minta pada Bu Elly, ibu indekosku, kalau bisa mereka boleh tinggal di kamarku. Bu Elly orangnya baik, ia tidak berkeberatan. Ia bilang bahwa di kamar tengah ada kasur dan bantal ekstra serta selimut yang boleh aku pakai. Kuambil kasur dan kugelar di lantai di kamarku yang hanya 3 kali 3 meter. Hatiku ceria menyambut kedatangannya.

Besok paginya aku menjemput mereka di stasiun kereta api. Ayu memakai celana slacks hitam setinggi betis dan blouse berwarna merah. Rambutnya bergerai panjang. Tak tampak kelelahan pada wajahnya setelah perjalanan semalam. Kukecup pipi Ayu dan kusalami ibunya. Lalu aku bantu mereka membawa barang-barangnya. Dengan taksi kami menuju tempat indekosku. Mereka membawa mangga dan dodol untuk Bu Elly dan juga untukku. Pagi itu mereka istirahat di kamarku dan aku pergi ke kampus. Siangnya kuantar mereka ke relasi dagang ibu Ayu.

Sore hari, setelah mandi, aku duduk-duduk di kamar tamu ngobrol dengan Ayu sementara ibunya ngobrol dengan Bu Elly di kamar makan. Setelah berbicara tentang berbagai hal, tiba-tiba Ayu bertanya,
"Rik, apakah orangtuamu sudah tahu tentang kita?"
Aku belum siap untuk pertanyaan itu.
"Belum Ayu, nanti setelah sidang sarjana aku akan pulang membicarakan dengan mereka."
Wajahnya pun murung dan ia menunduk.
"Ada apa Ayu?"
"Aku takut Rik. Takut kalau mereka tidak setuju. Kita tidak sederajat. Kamu mahasiswa, sebentar lagi sarjana, aku cuma karyawati."
"Mengapa kamu bilang begitu? Aku tak peduli soal itu."
Dia diam saja. Kulihat air matanya menggenang. Kuambil sapu tanganku untuk mengusapnya.
"Rik, aku ingat masa kecil kita. Alangkah senangnya waktu kita anak-anak, kita hanya ingat bermain dan bermain. Yang ada hanya senang saja. Tidak ada kesulitan hidup."

Kugenggam tangannya. Aku merasakan hidupnya tidak mudah. Aku berjanji dalam hatiku akan membahagiakan dia kalau ia kelak menjadi milikku.
"Rik, andaikan kita sampai putus, aku akan pergi jauh.. jauh sekali."
"Mengapa kamu berpikir sampai ke situ Ayu?"
Bi Ipah keluar menyuguhkan teh bagi kami. Ayu mengusap airmatanya, menyibak rambutnya dan mencoba tersenyum,
"Terima kasih bi."
Setelah Bi Ipah meletakkan gelas-gelas itu di meja dan kembali ke belakang Ayu melanjutkan.
"Aku tak punya kepandaian, tak punya apa-apa. Kebanyakan gajiku untuk keperluan rumah dan sekolah adikku."
Memang ayahnya sudah pensiun dan ibunya dagang kecil-kecilan hingga ia harus membantu membiayai rumah tangganya.
"Kepandaian selalu bisa dicari Ayu, setelah ada kesempatan."
Tiba-tiba aku ingat bahwa aku mempunyai tabungan, hasil dari aku memberi les komputer yang jumlahnya lumayan.
"Ayu, aku punya tabungan. Tabungan kita. Hasil memberi les komputer. Sebaiknya kamu saja yang pegang Ayu. Kamu lebih tahu cara menggunakan uang. Nanti kutransfer. Dari orang tuaku sudah cukup untukku."
Segera Ayu berkata, "Jangan Rik, sebaiknya jangan."
"Milikku juga milikmu Ayu, percayalah."
Ia diam saja.
"Ayu, kamu percaya aku kan?"
Kutengadahkan wajahnya, "Senyum dong, jangan murung begitu." Iapun tersenyum sedikit lalu menundukkan kepalanya lagi.

Tak lama ibu Ayu keluar dan bergabung duduk dengan kami. Mungkin ia juga melihat bekas menangis Ayu. Malam itu kami tak kemana-mana. Setelah makan malam kami duduk ngobrol-ngobrol di kamar makan. Kami bercerita tentang berbagai hal. Tentang bisnis ibu Ayu, tentang studiku yang hampir selesai dan macam-macam lainnya. Kemudian kami pun masuk ke kamar.
Di kamar, ibu Ayu tidur di tempat tidurku sedang aku dan Ayu tidur di kasur yang di gelar di bawah. Lampu kamar kami matikan, tetapi tidak gelap benar karena ada sedikit cahaya dari luar. Udara di Bandung memang dingin hingga kami harus menggunakan selimut. Aku dan Ayu berada dalam satu selimut. Ayu rebah menghadap depan dan aku di belakangnya, seolah-olah membonceng motor. Wangi rambutnya menghambur ke hidungku. Aku dan Ayu pura-pura memejamkan mata tetapi tak lama, setelah beberapa saat tangan-tangan kami mulai "bergerilya" di balik selimut. Ayu memakai daster dengan ruitsluting di depan. Aku buka ruitsluiting itu, ia tak memakai bra hingga tanganku bebas meraba-raba payudaranya. Aku lepas celanaku hingga aku cuma bercelana dalam. Tangan Ayu pun menyusup masuk meraba-raba penisku. Semua itu kami lakukan sepelan mungkin agar ibu Ayu tidak mendengar. Atau mungkin juga dia mendengar "kesibukan" kami. Kemudian kami "ngobrol" tanpa mengucapkan suatu katapun. Caranya? Dengan jari aku menuliskan huruf-huruf di telapak tangannya, setiap kali satu huruf, ia menjawab juga dengan cara itu di telapak tanganku. Bila salah tulis kuusap-usap telapak tangannya seolah-olah menghapusnya, ia juga begitu. Sampai sekarang kami masih tertawa kalau ingat cara berkomunikasi itu.

Tak lama kemudian aku mendengar ibu Ayu mendengkur. Nah sudah lebih aman sekarang. Ayu pun membalikkan badannya menghadap aku. Ia memeluk dan mengecupku. Kulepas celana dalam Ayu, dan ia melepas celana dalamku. Ia memegang penisku dan menggeser-geserkan ke vaginanya. Ia menciumi leher dan dadaku Lalu ia kembali membelakangiku. Pangkal pahanya diangkatnya sedikit, memberi jalan hingga penisku bisa menyentuh vaginanya dari belakang. Kucari lubangnya dan kudorong, dan masuk. Ia menggelinjang sedikit. Kugerakkan tubuhku ke depan dan ke belakang dengan irama tidak terlalu cepat. Kulakukan itu sambil tanganku meremas-remas payudaranya. Setelah beberapa saat kurasakan tubuh Ayu menegang, ia menggenggam tanganku erat-erat, kudengar desahnya perlahan. Tak lama kemudian aku pun mengikutinya. Semua terjadi di bawah selimut. Sesaat kemudian Ayu bangkit keluar ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah Ayu kembali, aku menunggu sekitar lima belas menit (agar tak ada yang curiga telah "terjadi sesuatu"), baru aku keluar untuk cuci-cuci. Sekembaliku ke kamar kutuliskan di telapak tangannya nice sleep dan kamipun tidur.

Besoknya aku bermaksud mengajak Ayu dan ibunya berekreasi. Tetapi ibu Ayu berkata ia tidak akan ikut, ia lebih senang tinggal di rumah, ia ingin membantu Bu Elly membuat kue. Apalagi relasi dagangnya berjanji akan datang ke situ. Kukeluarkan Vespa-ku. Ayu mengenakan celana slacks abu-abu dengan baju kaus berwarna krem. Baju kausnya yang ketat itu memperlihatkan lekuk-lekuk badannya.
"Kita kemana Rik?" Tanyanya.
"Kita ke pemandian air panas saja Ayu."

Kuboncengkan Ayu dengan Vespa-ku. Udara pagi itu cerah dan segar. Vespa-ku menikung-nikung mendaki jalan pegunungan. Ayu di belakang mendekap aku. Sekitar satu jam kami pun sampai di tempat pemandian air panas. Setelah memarkir Vespa aku membayar karcis dan masuk. Waktu itu bukan hari libur hingga sepi di situ. Setengah berbisik aku bertanya pada penjaga apakah bisa menyewa sebuah kamar mandi. Sebenarnya ada peraturan yang melarang menggunakan kamar mandi lebih dari seorang, apalagi dengan orang yang berlawanan jenis. Tetapi aku memberi uang lebih dan ia membolehkan aku. Setelah ditunjukkan tempatnya aku dan Ayu pun masuk ke kamar mandi itu.

Segera setelah kututup pintu kamar mandi kami langsung berdekapan dan berkecupan. Gairah mulai meluap. Ayu membuka celana jeansku. Aku juga membuka celana slacks-nya. Ia membuka bajuku, aku membuka kausnya. Ia memakai celana dalam dan bra berwarna biru muda. Aku juga cuma bercelana dalam berwarna biru muda yang tidak cukup lebar untuk menutupi penisku yang tegang menyembul keluar.
"Kok warnanya sama, tadi kamu ngintip dulu ya?" candanya.
"Itu namanya kalau jodoh," jawabku tertawa (tentu saja aku tak sengaja warna celana dalam kami bisa sama).
"Belum-belum kok sudah nongol gitu?" godanya sambil melirik ke bawah.
"Sudah kangen Ayu," bisikku.

Ia maju dan merangkul aku.
Kembali kami berpelukan dan bibir kami saling melumat. Kurasakan ia menempelkan erat-erat tubuh bawahnya ke tubuhku. Lalu ia jongkok di depanku dan melorotkan celana dalamku yang sudah tidak bisa menutupi penisku itu. Ia mengulum penisku, ia mengecup dan menjilati rambut-rambut di sekitarnya dan kantung bolaku. Lalu ia bangkit berdiri. Ganti aku jongkok di depannya, kucium perutnya, kuturunkan celana dalamnya dan kulepaskan, lalu kukecup rambut-rambutnya. Aku bangkit berdiri. Kulepaskan kaitannya bra-nya dan tak ada apa-apa lagi di tubuhnya. Kukecupi payudaranya. Aku ingat teknik-teknik yang pernah kulihat di blue film dan aku ingin mempraktekkannya. Sambil berdiri Ayu merangkulku, lalu kulakukan penetrasi. Kubantu Ayu menaikkan kedua kakinya dan sambil kutopang, kedua kakinya itu melingkari tubuhku. Kuayun-ayun tubuhnya. Kami lakukan ini namun tak sampai orgasme. Kucoba pula posisi lain. Ayu berlutut dan membungkukkan badannya pada posisi menungging. Aku berlutut di belakangnya. Kupegang pinggulnya dan aku melakukannya dari belakang. Setelah beberapa menit orgasme terjadi, Ayu dan aku hampir bersamaan.

Bak mandi sudah penuh dari tadi. Aku dan Ayu masuk ke bak mandi. Ayu duduk di pangkuanku berhadapan denganku. Kami saling menyabuni tubuh kami, bercanda, bercumbu, sambil menikmati hangatnya air di bak itu.
"Rik, kamu kalau sudah lulus akan bekerja di mana?"
"Kebetulan ada sebuah perusahaan yang sudah mau menampungku Ayu. Di kota ini juga. Aku akan bekerja di bagian IT-nya."
"Senang ya Rik kalau jadi orang pinter. Engga kayak aku ini."
"Kamu juga ikut senang kok Ayu karena kamu akan jadi permaisuriku. Dulu waktu kecil kan kamu selalu jadi permaisuriku, dan sekarang juga."
Ia tertawa, "Eh, ada raja rupanya di sini."
Kumain-mainkan putingnya dengan jari-jariku dan ia menggosok-gosok penisku hingga tegang kembali. Kembali kudekap dia dan kuciumi dia. Ia mengangkat tubuhnya sedikit lalu kuarahkan penisku ke lubangnya lalu ia duduk kembali dan penisku sudah lenyap ditelannya. Dalam rendaman air hangat itu kami kembali menumpahkan kasih sayang kami. Kami berada di kamar mandi itu satu jam lebih.

Keluar dari situ hampir tengah hari. Kami pergi ke sebuah restoran untuk mengisi perut. Hari masih panjang. Aku belum ingin pulang, di rumah indekos sangat tidak leluasa. Kutanya pada Ayu bagaimana kalau mencari hotel untuk beristirahat di sana. Ayu tidak keberatan. Kami menuju ke sebuah hotel tak jauh dari situ dan memperoleh kamar dengan kamar mandi shower. Segera setelah kami masuk kekamar itu, kami segera melepaskan semua yang ada di tubuh kami. Kusergap dia dan kudorong dia ke tempat tidur. Kami melakukannya lagi. Di ruangan itu aku dan Ayu bebas melakukan apa saja. Kami mandi bersama sambil bercumbu di bawah siraman air shower yang hangat. Nonton TV bersama. Seluruh waktu kami lewatkan tanpa ada apa-apa yang menutupi tubuh kami. Setelah mencapai suatu orgasme Ayu menanyaiku,
"Rik, bagaimana kalau sampai jadi?"
Terbersit kekhawatiran di benakku karena aku sebenarnya belum siap untuk itu.
"Anak kita pasti lucu ya," jawabku seadanya sambil mengusap-usap perutnya.
Karena lelah kami sempat tidur selama beberapa jam di hotel itu, berpelukan dengan tubuh telanjang. Kami pulang sore hari dan tiba di rumah indekos menjelang gelap.
Bu Elly bertanya, "Kemana saja kalian?"
"Habis berenang dan keliling kota bu."
Aku bisa menangkap sinar kecurigaan di matanya. Malam itu kami tak banyak melakukan "gerilya" di bawah selimut karena kami sudah cape. Esoknya aku mengantar Ayu dan ibunya ke stasiun untuk kembali ke kotanya. Setelah kusalami ibunya, kuberikan sun pipi pada Ayu. Ia berkata,
"Sukses ya Rik ujiannya. Jangan lupa cepat beri kabar setelah tahu hasilnya."

Dua bulan kemudian. Tiba saat sidang sarjana. Sejak pagi aku sudah siap dengan kemeja berdasi. Aku sudah berusaha sebaik mungkin mengerjakan tugas akhirku, tetapi toh aku aku tidak bisa melenyapkan rasa tegangku ketika berhadapan dengan tim penguji. Mereka baik tetapi tampak angker sekali. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan dan aku berusaha menjawab semuanya. Setengah jam aku harus menunggu keputusan hasil sidang dengan debaran jantungku hingga beberapa kali aku harus ke kamar kecil. Tim penguji kembali masuk ke ruangan dan aku dinyatakan lulus dengan cumlaude. Sorakan meledak di ruangan itu, teman-temanku menyalamiku. Sayang sekali Ayu tidak ada di situ. Kukirimkan telegram kepada orang tuaku dan tentu tak lupa pada Ayu. Kuterima telegram balasan dari Ayu yang menyatakan selamat atas kelulusanku.
Beberapa hari kemudian surat Ayu menyusul. Ia menyatakan kebahagiaannya dan keluarganya atas keberhasilanku. Ia juga bercanda,
"Kapan pestanya?"
Tetapi aku terhenyak membaca akhir surat,
"Rik, aku sedang bingung. Sudah dua bulan aku tidak mens."

Sekarang Ayu hidup bersamaku dengan dua orang anak. Aku teringat permainanku semasa kecil. Aku pangeran mempersunting Ayu, gadis sederhana, menjadi puteri di istanaku. Kemauan belajarnya besar, ia mengambil les komputer, bahasa Inggeris, memasak dan sebagainya. Seperti aku ia juga suka membaca. Aku bahagia memiliki Ayu.

TAMAT

Ayu Sang Kekasih 01

Cinta pertama tak pernah mati, apalagi bila cinta itu tumbuh saat masa kanak-kanak atau remaja. Kesederhanaan kala itu justru menjadikan pengalaman masa lalu terpatri erat di dalam sanubari sebagai kenangan indah yang tak terlupakan. Kisah nyata ini kualami dengan seorang gadis yang kukenal dan teman bermain sejak kecil, kisah pacaranku dengan Ayu, seorang gadis yang sangat istimewa bagiku.
Kisah ini terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Saat masih kanak-kanak, kami bermain seperti halnya anak-anak pada umumnya.
"Hoom-pim-pah .."
"Agus jaga..". Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami, anak-anak yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung Ma' Ati yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. Aku merangkak masuk di bawah meja warung itu, Ayu mengikutiku dari belakang dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku mengintip lewat celah kecil di gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan untuk lari keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada dekatnya. Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku. Apakah ini yang namanya "cinta anak-anak"? Aku tak tahu. Yang aku tahu Ayu memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku bilang begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya cocok kalau aku jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan lain Ayu cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa kecil kami memang menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak pernah dengar kabar apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Ayu.

Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
"Eh Rik, apa kabar?"
"Oh, baik saja oom."
"Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku."
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.
"Apakah, apakah dia ..?"
"Benar Rik, dia Ayu."
"Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu."
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
"Ini Riki, tentu kamu kenal dia," kata oomku.
Kami bersalaman.
"Wah, sudah gede sekali kamu Ayu."
"Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?" katanya sambil tertawa.

Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada tertawanya ketika ia kecil. Aku benar-benar terpesona melihat Ayu, aku ingat Ayu kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan aku pasti juga terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang tidak mewah, tetapi serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai. Bahunya terbuka, buah dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu membedakannya dengan Ayu kecil yang pernah kukenal.
"Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain," kata oomku seraya meninggalkan kami.
"Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ," kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
"Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?"
"Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?"
"Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?"
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya, perlahan ia berkata, "Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu."
"Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa."

Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan aku memandang wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta anak-anak itu mulai digantikan dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah ia merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati padanya. Malam itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.

Sekembali ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika ia menyuratiku akan berkunjung ke Bandung mengantar ibunya untuk suatu urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun, ibunya melakukan dagang kecil-kecilan. Aku senang sekali atas kedatangan mereka. Kucarikan sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku. Hotel itu sederhana tetapi cukup bersih.

Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun kereta api dan mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah, aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan menikmati udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di bahunya yang tertutup oleh jaket. Kami berjalan menempuh jarak beberapa kilometer, jarak yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi anehnya kami merasakan jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami masih melanjutkan pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam, sementara ibu Ayu sudah mengarungi alam mimpi. Besok sorenya aku ke hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota mereka. Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu sedang mengemasi barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
"Ayu, bolehkah ..?"
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
"Sorry Ayu, bukan maksudku .."
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, "Ayu, sorry ya dengan yang tadi."
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
"Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami."

Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap serius. Aku sering membuka suratku dengan "Ayuku tersayang". Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang nakal. Dia juga berani membalasnya dengan nakal. Pernah dia menulis begini, "Sekarang di sini udaranya sangat panas Rik, sampai kalau tidur aku cuma pakai celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku juga)."
Membaca surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang kugunakan untuk membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa saja, yang membuat ia merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi aku tak pernah cerita pada dia tentang ini.)

Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Aku tiba pagi hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di jari manisnya.
"Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?"
Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
"Aku bereskan meja dulu."
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan. Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena orang-orang di rumah itu masih belum tidur. Ayu membuat secangkir kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh rumah mulai sepi, orang tua dan adik Ayu sudah masuk ke kamar tidur masing-masing. Hanya tinggal aku dan Ayu di ruang tamu. Ia duduk di sofa di sebelah kananku.

Dari obrolan biasa aku mulai berani. Kulingkarkan tanganku dibahunya. Ayu diam saja dan menunduk. Dengan tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya, kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar. Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan tangan kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya, dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan bahkan menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau rambutnya. Aku pun tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap diam dan tampaknya ia menikmatinya.

Setelah beberapa saat ia menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia menaruh tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh penisku, jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai aktif. Walaupun masih terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap di situ. Aku melangkah lebih jauh lagi, tanganku yang berada di dadanya sekarang memasuki dasternya, menyusup di sela-sela BH-nya dan kuremas-remas payudaranya langsung. Payudaranya memang tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal dalam remasanku. Dia tak mau kalah, tangannya menyusup masuk ke celana dalamku dan langsung menyentuh penisku lalu mengenggamnya. Bergetar hatiku, baru kali itu penisku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak. Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak tahan .. menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana dalamku. Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.
"Kental ya Rik," bisiknya.
"Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama," kataku kecewa.
"Aku tahu Rik," ia memahami.
"Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu," lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.

Malam kedua. Seperti halnya malam pertama, setelah suasana sepi kami memulai dengan berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya, lalu lidahku masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa manis dan segar di mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas sebelumnya. Lalu kami main remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak memakai BH hingga lebih mudah bagiku meremas-remas payudaranya. Seperti kemarin tangannya pun meraba-raba penisku. Aku sudah khawatir kalau aku akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga ingin melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke bawah, kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu kami cuma main remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya, dan dia membelai-belai penisku sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga hingga cairanku menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti kemarin. Tetapi aku lebih senang karena kami bisa bermain-main lebih lama. Aku merasa ada kemajuan, aku lebih percaya diri.

Malam ketiga. Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan saling berciuman di sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa sebuah buku seksologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka pada halaman yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara bekerjanya alat itu. Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru biologi aku menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku. Kuturunkan celana dalamku hingga penisku menyembul keluar dan kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda dengan yang di gambar, kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak. Ayu memperhatikan penisku itu.
"Itu lubangnya ada dua ya?" tanyanya, "Satu untuk kencing, satu lagi untuk ngeluarin?"
"Ah, engga. Cuma ada satu," kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
"Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya," katanya sambil tertawa.
"Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?" sahutku.
"Katanya sih," sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
"Kalau ini isinya apa?" Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
"Biji salak kali," jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
"Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar," bisikku. Diapun menurut, dia masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
"Boleh aku lihat punyamu?" tanyaku.
"Jangan ah," jawabnya.
"Sebentar saja," kataku.
Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu jariku membuka celah di situ dan kulihat basah di dalamnya.
"Kok basah kuyup begini."
"Tadi kamu juga."
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca buku seksologiku ada bagian yang namanya "labia majora", ada "labia minora", ada "clitoris." Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
"Sudah ah, malu," katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
"Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi," kataku bercanda.
"Kan katamu cuma lihat sebentar."

Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali mengusap-usap penisku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya (dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di balik celana dalam itu dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku merasakan basahnya. Kurebahkan dia di sofa, kutarik celana dalamnya. Tapi Ayu menolak tanganku dan berbisik,
"Di kamar saja Rik."
Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
"Kamu masuk duluan," katanya.

Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
"Rik, masukkan saja..," bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya. Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak mengerang.
"Pelan-pelan Rik," bisiknya.
Kudorong penisku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang paling peka.

Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,
"Rik, Rik,.." Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
"Ayu.." Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
"Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi," katanya.
"Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu," kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami pun tertidur.

Menjelang pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan dasternya.
"Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi."
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
"Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu."
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
"Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik," candanya.

Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku, sebentar dalam mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit, mengarahkan lubangnya ke ujung penisku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke belakang hingga penisku masuk ke dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di perutku. Tanganku meremas-remas payudaranya dan ia menggoyang-goyangkan tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan kami yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat sudah, ia mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun tertidur dengan rasa bahagia.

Malam keempat. Kami mulai dengan bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku juga melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang. Aku terpesona melihat Ayu berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi. Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya. Kalau saja aku bisa memotretnya pasti tiap malam kupandangi foto itu dengan penuh pesona.
"Luar biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?"
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.

Kulepas celana mini dan blousenya. Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami saling menempel. penisku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan rambut-rambutku, hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami bercumbu rayu dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya, malam itu kami melakukan lagi dua kali.

Esoknya aku harus kembali ke kotaku. Hari itu Ayu mengambil cuti seharian ia menemaniku. Sore hari Ayu mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika aku menyalami dia.
"Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu," katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
"Aku pasti datang lagi Ayu," tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.

Bersambung ke bagian 02

Awal Menjadi Gigolo 03

Sambungan dari bagian 02

Tidak lama kemudian, batang kejantananku mulai dilahap oleh Tante Juliet. Mulutnya yang sensual itu seperti karet, mampu mengulum hampir seluruh batangku, membuatku seakan-akan terlempar ke langit ke-7 merasakan kenikmatan yang tiada taranya. Dengan ganasnya, mulut Tante Juliet menyedoti penisku, seakan-akan ingin menelan habis seluruh isi batangku. Tubuhku terguncang-guncang dibuatnya. Dan Tante Juliet nan rupawan itu masih menyedot dan menghisap batang kejantananku tersebut. Belum puas dengan yang itu, Tante Juliet mulai menaik-turunkan kepalanya, membuat penisku hampir keluar setengahnya dari dalam mulutnya, tetapi kemudian masuk lagi. Begitu terus berulang-ulang dan bertambah cepat. Gesekan-gesekan yang terjadi antara permukaan penisku dengan dinding mulut Tante Juliet membuatku hampir mencapai klimaks untuk kedua kalinya. Apalagi ditambah dengan permainan mulut Tante Juliet yang semakin bertambah ganasnya. Beberapa kali aku mendesah-desah.

"Ohh.. yess.. Tante sungguh hebatt.. ohh.. Tante udah ya.. Sony nggak tahan nich..!" kataku.
Kami menuju sofa, terus duduk berdua berhadapan telanjang. Terus kucium bibirnya, pipinya, dan keningnya. Terus dia berdiri.
"Mau kemana Tante..?" tanyaku.
"Ambil minuman Sayang.., tenggorokanku kering habis ngemut punyamu.."
Tante Juliet berjalan menuju kulkas, mengambil botol besar Coca-Cola. Aku sangat teransang sekali sewaktu dia berjalan membelakangiku. Dia berjalan dengan menggoyangkan pinggulnya sambil kedua tangannya diangkat ke atas, sehingga kedua ketiaknya yang lebat itu terlihat samar. Ohh.. pantatnya yang bulat dan besar itu seakan membuatku jadi salah tingkah, sehingga kemaluanku bangun lagi. Lalu saat dia kembali ke sofa, terlihatlah sekarang dengan jelas bulu ketiaknya dan bulu kemaluannya yang lebat itu, dan lagi susunya yang besar itu, ohh..

Lalu kami minum bergantian dari botol yang sama. Kemudian bersandar ke sofa, sama-sama diam.
"Gimana Tante, udah segar sekarang..?" tanyaku.
"Ya dong Sayang.. aduhh.. punya kamu koq kecil lagi..?" katanya sambil mengelus kemaluanku, dan aku hanya tersenyum.
"Sony sayang, jilatin punya Tante dong Sayang..!" katanya sambil terus berdiri di depanku.
Lalu kucium paha kanannya, lalu kiri, lalu kanan, lalu kiri lagi, lalu pusarnya.
"Ohh.. yeess.. teruskan Sayang.. ohh.. sedepp.. ahh..!" katanya.
Karena nafsunya, akhirnya Tante dengan tidak sabar langsung menarik kepalaku dan wajahku ditempelkannya ke bibir kemaluannya yang penuh dengan bulu lebat itu. Kunaik-turunkan lidahku di vagina yang lebat bulu itu. Lantas dia mengangkat satu kakinya di sofa.

"Ayo jilat lebih dalam Sony sayang..!" katanya.
Dengan lembut kugesekkan lidahku ke klitorisnya, lalu labia mayoranya. Aku merasakan begitu banyak cairan yang keluar.
"Ayo sayang sedot cairan Tante.. ohh.. yeess..!" katanya sambil mendesis.
Lalu langsung saja aku menyedotnya, "Slurping.., lumayan juga ya Tante.. segar juga.."
Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang masih virgin. Tante Juliet tidak tahan dengan perlakuanku, badannya terutama kakinya sampai gemetar bagai terkena setrum, lalu dia duduk di sofa dengan kakinya dibukanya lebar-lebar.

"Ayo sayang, bikin Tante keluar.. ohh.. yess..!" katanya.
Kepalaku menyeruak masuk ke dalam, terus kedua kakinya kuangkat, sehingga terkuaklah bagian bibir kemaluannya. Kujulurkan lidahku ke liang senggamanya yang basah itu. Kujilat.., lepas.., jilat.., lepas.., kudiamkan, berulang-ulang, Tante Juliet jadi gemas dibuatnya.
"Ayo dong Sayang. Kamu jahat deh.., Son. Tante udah nggak tahan nich..!" katanya.
"Ya Tante, maafkan Sony.." kataku.
"Ayo Son, tunggu apa lagi.. cepet bikin Tante keluar..!" katanya sambil mendesis lagi.
Dengan kedua jempolnya, tante merentangkan bibir vaginanya agar lebih terbuka. Merah tua kecoklatan dan mengkilat basah terlihat jelas warna vaginanya. Klitorisnya mengeras, seperti biji kacang garing cap "Garuda".. ini kacangku.

Lalu dengan lembut kutempelkan ujung lidahku ke klitorisnya yang mulai keras itu. Terus kulanjutkan dengan ilmu jilatan ala Shaolin seperti yang diajarkan Tante Juliet.
"Ahh.. yess.., nikmat.., terus dong Sayang..!" katanya.
Sekarang lidahku mulai bermain dengan kecepatan 350 km/jam.. Klitoris itu kujilati terus.. terus.. dan terus.. Hingga tubuh tante bergetar hebat. Lidahku terus menjelajah ke labia mayora, sampai banjir permukaan vaginanya.

"Ouhh.. yess.. Son.. kamu pintar deh.." katanya.
Lalu aku sekarang duduk di sofa dan tante langsung jongkok di depanku dan menyuruhku membuka kaki lebar-lebar. Batang kejantananku yang sudah tegang itu tepat berada di depan wajahnya. Lalu dia mulai menjilati kakiku, mulai dari jempol kakiku dan yang lainnya. Dia naik ke betisku yang berbulu lebat, persis hutan di Kalimantan. Ohh.. lalu naik lagi ke pahaku, dielusnya dan dijilatinya, ohh.. setelah itu dia berpindah ke lubang anusku. Diciumnya, dijilatinya dan ohh.. dimasukkannya jari tengahnya ke lubang anusku. Ohh.. nikmatnya. Lalu dia mulai mengelus-elus batang kemaluanku dan tangan satunya memijit-mijit 'my twins egg'-ku. Aahh.. aku mengerang kenikmatan.

Kemudian dia memasukkan batang kejantananku ke mulutnya, dia hisap batang penisku, terus diemut-emutnya. Dia gerakkan kepalanya naik-turun dengan batang kemaluanku masih berada di dalam mulutnya. Terasa ujung kepala kemaluanku menyentuh tenggorokannya dan masih terus dia tekan. Semua batang kejantananku ditelan oleh Tante Juliet, lidahnya menjilat bagian bawah penisku dan bibirnya dibesar-kecilkan. Sebuah rasa yang tidak pernah kubayangkan. Batang kemaluanku kemudian dikeluar-masukkan, tetapi tetap masuk seluruhnya ke tenggorokannya.

Setelah beberapa lama dihisap dan dikeluar-masukkan sambil tangan yang satu memeras biji kemaluanku dan tangan yang satu lagi dimasukkannya ke dalam lubang pantatku, terasa aku sudah mau keluar, dan kubilang sama Tante Juliet, "Tante.. Sony mau keluar.. ohh.."
Dikeluarkannya batang penisku dan bilang, "Go on come in my mouth. I want to taste and drink your cum, Sony.. hhmm..!"
Batangku dimasukkannya lagi, dan sekarang dia memasukkan dengan lebih dalam dan dihisap lebih keras lagi.

Setelah beberapa kali keluar masuk, cairanku keluar di dalam mulut tante, dan langsung ke dalam tenggorokannya, terasa tengorokannya mengecil dan jari di lubang pantatku lebih ditekan ke dalam lagi, sampai semuanya masuk. Aku benar-benar merasakan enak yang sulit dikatakan. Perlahan-lahan dikeluarkannya batang kemaluanku.
"Punya kamu enak Sony sayang.. Tante suka..!" katanya.
Lalu kuangkat tubuh Tante Juliet ke lantai, dan kubaringkan. Perlahan kubuka pahanya lebar-lebar. Liang senggamanya yang tertutup bulu lebat itu mungkin sudah terbuka agak lebar, habis pandanganku tertutup bulu yang lebat itu.

"Tante, Sony udah nggak tahan nich..!" kataku memohon.
"Sabar dong Sayang.. biar Tante yang memasukkan batangmu, ya..?" katanya.
Lalu tangan tante memegang penisku, dan membimbingnya ke lubang kenikmatannya.
"Tekan disini Son.. pelan-pelan yaa..!"
Lalu dengan hati-hati dia membantuku memasukkan penisku ke dalam liang senggamanya. Belum sampai setengah bagian yang masuk, dia sudah menjerit kesakitan.
"Aaa.. sabar Sayang.. oohh.. pelan-pelan Son..!" tangan kirinya masih menggenggam batang kejantananku, menahan laju masuknya agar tidak terlalu keras, sementara tangan kanannya meremas-remas rambutku.
Aku merasakan batang kejantananku diurut-urut di dalam liang kewanitaannya. Aku berusaha untuk memasukkan lebih dalam lagi, tetapi tangan tante membuat panisku susah untuk memasukkan lebih dalam lagi. Aku menarik tangannya dari batang penisku, lalu kupegang erat-erat pinggulnya.

Kemudian kudorong batang kejantananku masuk sedikit lagi, "Ohh.. yeess.. ohh.. sshh.. aachh.. ohh.. Sayang..!" kembali tante mengerang dan meronta.
Aku juga merasakan kenikmatan yang luar biasa, tidak sabar lagi kupegang erat-erat pinggulnya supaya dia berhenti meronta. Lalu kudorong sekuatnya batangku ke dalam lagi. Kembali tante menjerit dan meronta dengan buasnya.
Aku berhenti sejenak, menunggunya tenang dulu, lalu, "Lho koq berhenti.., ayo goyang lagi donk Son..!" katanya.
Lalu aku menggoyangkan penisku keluar masuk di dalam vaginanya. Tante terus membimbingku dengan menggerakkan pinggulnya seirama dengan goyanganku. Lama juga kami bertahan diposisi seperti itu. Kulihat dia hanya mendesis sambil memejamkan mata, menikmati irama permainan kami.

Tiba-tiba kurasakan bibir kemaluannya menjepit penisku dengan sangat kuat, tubuh tante mulai menggelinjang, nafasnya mulai tidak karuan, dan tangannya meremas-remas payudaranya sendiri.
"Ohh.. ohh.. Sayang.., Tante udah mo keluar nich.. sshh.. aahh.." katanya dengan goyangan pinggulnya sekarang sudah semakin tidak beraturan, "Kamu kuat sekali Sayang..!" sambungnya.
Aku semakin mempercepat goyanganku.
"Aaahh.. Tante.. keluar Son.., ohh.. endangg..!" dia mengelinjang dengan hebat, kurasakan cairan hangat keluar membasahi pahaku.Aku semakin bersemangat menggenjot.
Aku juga merasakan bahwa aku akan keluar tidak lama lagi, dan akhirnya, "Ahh.. sshh.. ohh..!" kusemprotkan cairanku ke dalam liang kenikmatannya.
Lalu kucabut batang kemaluanku dan terduduk lemas di lantai.

"Kamu hebat Sayang.. udah lama Tante nggak pernah klimaks.. oohh..!" katanya girang.
"Ohh.. Sony cape' Tante.., udah tiga kali baginian.. uhh..!"
Tante kemudian ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sehabis tante dari kamar mandi, dia menuju ke arahku lagi dan membersihkan batang kejantananku dengan lap.
Sambil membersihkan penisku, dia berkata, "Son.., kamu belum selesai ditest.. sekarang kamu kerjain Tante dari belakang ya..?" katanya.
Dia terus membelakangiku dan pantat serta vaginanya terlihat merekah dan basah, tetapi bekas-bekas spermaku sudah tidak ada.

Sebelum kumasukkan batang kejantananku, kujilat dulu kemaluannya dan lubang pantatnya. Tercium bau sabun di kedua lubangnya, dan sangat bersih. Cairan dari vaginanya mulai membasahi bibir kemaluannya, ditambah dengan ludahku. Dari ujung penisku terlihat cairan menetes dari lubangnya. Kuarahkan batang penisku ke lubang vaginanya, dan menekan ke dalam dengan pelan sambil merasakan gesekan daging kami berdua. Suara becek terdengar dari kemaluan kami berdua, dan cukup lama aku memompanya dengan posisi ini.

Tante kemudian berdiri dan bersandar ke dinding sambil membuka pahanya lebar-lebar. Satu dari kakinya diangkat ke atas. Dari bawah, vaginanya terlihat sangat merah dan basah.
"Ayo.., masukin lagi sekarang, Son..!"
Aku dengan senang hati berdiri dan memasukkan batang penisku ke lubang vaginanya. Dengan posisi ini aku mengeluar-masukkan kejantananku lebih bersemangat. Setiap kali aku mendorong batang kejantananku ke liang senggamanya, badan tante membentur dinding.
Sambil memeluk tubuhku dan berciuman, dia berkata, "Son.., Tante mo keluar nich..!"
Lalu bibir vaginanya diperkecil dan memijat batang penisku. Kami keluar bersamaan, aku masih bisa juga keluar walaupun tadi sudah keluar dua kali. Dan yang kali ini sama enaknya dengan yang sebelumnya.
"Sony.., kamu benar-benar hebat.. kamu lulus Sayang..!" katanya sambil memeluk dan mencium bibirku.
Terus kami berdua mandi untuk membersihkan badan kami.

Nah.., mulai sejak itu, aku menjadi seorang gigolo yang kerjanya hanya memuaskan cewek-cewek kaya yang butuh kepuasan.

TAMAT

Awal Menjadi Gigolo 02

Sambungan dari bagian 01

Kami bertiga tertidur, aku dipeluk sama dua Mbak-Mbak yang asoy itu.
Tetapi tiba-tiba.., "Sari.. Mira.., apa-apaan ini..? Disuruh kerja kok malah tidur. Ayo bangun..!" tiba-tiba suara itu muncul.
Aku terbangun dan melihat wanita cantik yang umurnya mungkin diatas Mbak-Mbak itu. Langsung saja kedua Mbak-Mbak itu berpakaian.
Ketika aku mau berpakaian, "Kamu anak muda.. cepet masuk dan jangan dipakai dulu bajunya.. kamu belum selesai ditest.. ngerti..? Ayo cepet masuk ke ruanganku..!" katanya.
Setelah itu aku masuk ke ruangannya, tante cantik itu pamit ke kamar mandi.

Setelah menunggu sendirian di ruang kerjanya, aku iseng-iseng membuka album foto di depanku. Setelah kubuka, betapa terkejutnya diriku, semua foto disitu membuat batang kejantananku menjadi naik lagi. Ada foto seorang cewek dan cowok telanjang. Aku takut nanti ketahuan, maka langsung kututup album itu. Di ruangan itu terdapat rak-rak audio-video. Setelah kuperiksa, ternyata ada beberapa keping CD dan VCD. Aku curiga dengan dua keping VCD yang tidak ada sampulnya. Maka, langsung saja kumasukkan CD-nya, terus kuputar. Saat muncul opening scene, disitu tertulis, "SEX Intertainment, Ltd"
"Aduh..! Pasti film biru.." pikirku.
Dan ternyata benar, isinya film BF, judulnya "Daun Muda". Disitu adegan antara cewek seusia tante-tante yang vaginanya dimasuki penis para perjaka muda. Terus ada juga adegan 69, tante-tante itu dengan rakusnya melahap batang kemaluan para cowok-cowok muda.

Karena teransang, aku mengelus-elus batangb kejantananku yang sudah tegang. Lalu tiba-tiba terdengar tawa kecil di belakangku. Aku kaget, malu dan salah tingkah, karena tante cantik itu sudah berada di belakangku. Langsung saja kumatikan TV-nya, lalu aku tertunduk malu sambil melihat batang kemaluanku yang mulai mengecil.
"Kamu suka juga ya rupanya. Aduh besar juga ya punyamu. Kamu benar-benar cowok yang masih hijau Sayang.."
Aku tersenyum, dan tidak berani melihat wajahnya.
"Eee.. siapa namanya tadi..?" katanya.
"Sony, tante.." kataku.
"Ooo.., Sony. Sony sayang, kamu udah sering gitu juga kan..?" katanya.
"Eee.. cuman sekali Tante, dengan pacar Sony di kampung." kataku.
"Satu apa dua.. hayoo ngaku aja dech. Tadi ama pegawai Tante kamu ngeseks juga khan..?" katanya.
"Oh.. ya.. ya.. Sony lupa.. hee.. hee.." jawabku sambil menatapnya.

Tante itu memakai baju ketat, sehingga susunya yang lebih besar dari kedua Mbak tadi seakan memanggilku untuk menyentuhnya. Bagian bawahnya hanya memakai rok super mini, sehingga kedua kaki jenjangnya terlihat begitu putih dan mulus. Kemudian tante cantik itu duduk di sebelahku. "Tante tadi lagi buang air, tapi terus terdengar suara TV masih nyala. Tapi suaranya kok ah.., uh.., ah.., uh. Terus tante intip kamu lagi ngocok punyamu. Kamu nggak tahu ya..?"
"Ya Tante.." kataku.
"Sony sayang, kamu benar-benar ingin jadi model..? Apa sih tujuanmu Sayang..?" tanyanya.
"Sony cuman butuh uang dan pekerjaan, Tante." kataku.
"Cuman itu, nggak ada yang lain, Sayang..?" katanya."Ya Tante.. cuman itu." kataku.
"Kamu mau kalau Tante suruh apa aja..?" katanya lebih mengorek.
"Sony akan nurut ama Tante, asalkan Sony dapat uang, Tante.." kataku.

"Kamu betul-betul cowok lugu Sony sayang.. Tante akan menolong kamu. Kamu mau Tante ajarin sex tingkat tinggi, Sayang..?" katanya.
"Sony akan lakukan apa yang Tante suruh, tapi Sony ingin tahu nama Tante dulu, khan kita belum berkenalan tadi.." kataku.
"Nama lengkap Tante, Juliet atau biasa dipanggil Nyi Ringin Ireng.." katanya.
"Kok namanya aneh Tante.. apa maksudnya nama itu..?" tanyaku.
"Begini Syang, 'Nyi' itu 'cewek dewasa', terus 'Ringin' itu 'pohon beringin' atau bisa dimaksudkan 'hutan', yang artinya bulu-bulu di tubuh Tante, di ketek, di kemaluan, dan lain-lain.. terus 'Ireng' itu 'hitam'. Kamu khan tahu bulu itu warnanya hitam.. begicu Sony, ngerti khan..?" katanya.
"Sony ngerti Tante. Oh ya, Tante jadi nggak ngajarin Sony ilmu sex tingkat tinggi..?" kataku.
"Tentu Sony sayang. Tante akan tunjukin kebisaan Tante yang telah membuat cowok-cowok di seluruh nusantara ini ketagihan.."

Tangannya memegang kedua pipiku, "Son kamu ganteng dech.."
Lalu kupeluk dia, kucium pipinya, lalu keningnya.
"Ayo Tante.., ajarin Sony, bimbing Sony.., kasih tau Sony harus gimana saja. Tante khan juara dunia sejati. Tante khan udah punya jam terbang banyak. Tunjukin itu dong Tante..!" kataku.
"Sabar Sony sayang.., Tante akan ajarkan bagaimana ngesex dengan benar.." katanya seraya mencium bibirku.
"Ayo peluk Tante, Sony sayang..!"
Lalu aku mengangguk, terus memeluknya dan mengelus rambutnya yang indah itu. Tante Juliet berdiri, dan menghampiri rak audio, terus dia memutar CD lagu-lagu House.

Lalu tante kembali menghampiriku.
"Sony sayang..," bisiknya.
"Mm.., beri Sony ilmu itu, Tante..!"
Lalu kupeluk Tante Juliet dengan erat.
"Apa yang harus Sony lakukan, Tante..?" kataku.
"Sony pingin merasakan sesuatu yang indah bersama Tante..? Tante juga Sony sayang, Tante ingin merasakan batangmu itu merobek punya Tante." katanya sedikit bermanja.
"Sony sayang, menurut kamu Tante masih menarik nggak sih..?"
Aku agak bingung dan hanya dapat mengangguk memberi jawaban.
"Sony sayang, ayo cium bibir Tante sayang..!"
Lalu adegan pagutan ke bibir, leher, telinga dan tengkuk mulai kulancarkan. Tubuh Tante Juliet mulai bergetar.

Dengan instingku yang baru saja dipupuk, kuraba puting kirinya perlahan.
"Uhh, ya gitu Sayang, teruskan..!" dengusnya.
Kurasakan debar jantungnya meningkat. Lantas hidungku dan mulutku mulai mengecup bahunya yang terbuka, karena baju atasnya kubuka sedikit. Dia menggeliat.
"Nikmat sekali Sayang.. kamu pinter Son..!" bisiknya sambil matanya tetap terpejam.
Kini kedua tangannya memegangi tanganku. Matanya masih terpejam. Lalu tangan Tante Juliet memegangi tanganku. Sekarang matanya terbuka. Dia tersenyum. Kukecup bibirnya lembut, lalu pipinya, telinganya, dan tengkuknya.

"Apa lagi sekarang, Tante..?" bisikku.
"Ayo ciumi leher Tante yang jenjang ini Sony sayang..!" katanya.
Lalu kucium lehernya, kurasakan debar jantungnya dan bunyi nafasnya yang mengeras. Lalu tangan kirinya diangkat untuk memegangi tengkuknya sendiri. Saat sekilas kutatap bagian ketiaknya, kulihat sesuatu yang luar biasa. Bulu ketiak Tante Juliet ternyata lebat sekali. Aku terkesiap. Wow..! seperti tidak percaya melihat bulu hitam rimbun itu menghiasi bagian bawah lengannya. Kuangkat tangan kanannya. Sama lebatnya. Wow..! Aku belum pernah melihat bulu ketiak selebat itu. Dengan lembut kuraba kedua ketiak itu.

"Nggak pernah dicukur ya Tante..?" kataku penasaran.
"Sony sayang, seorang cewek yang bulu keteknya lebat itu berarti nafsunya tinggi sekali sayang.. Coba kamu rasakan nikmatnya.." katanya.
Lalu kucium ketiak berbulu lebat itu. Wow..! Enak e rek..! Bau asli tubuh aduhai itu menyergap hidungku. Bau alami itu bertambah dengan bulu lebat, sepanjang hampir 6-9 cm. Dari ketiak kanan, aku pindah ke ketiak kiri. Sama, ternyata aroma dan sensasi bulunya yang sebelah kiri dengan yang kanan tidak berbeda. Aku terangsang sekali, sehingga batang kejantananku tambah menegang. Dengan hidung dan mulut di ketiak kirinya, kedua tanganku meraba kedua puting susunya. Keras sekali. Kupegang lembut susunya yang tergantung itu. Kenyal sekali. Nafsuku semakin berkobar.

Akhirnya baju atasnya itu kulepas. Dan, wow..! Susunya besar dan kencang, dengan puting mungilnya yang mengeras. Puting itu berwarna kecoklatan.
"Ayo remas susu Tante, Son..!" katanya.
Lalu kuremes pelan kedua susunya.
"Oh yess..! Nikmat Son.., teruskan Sayang..!"
Kuciumi lehernya, tengkuknya, telinganya, bahunya, dan ketiaknya sambil mempermainkan puting dan payudaranya.
"Tante, Sony suka ketek berbulu lebat Tante, tetek dan puting Tante juga, ehm.."
Tante Juliet tersenyum, kupandangi tubuh indah itu yang sekarang tinggal bercelana dalam tipis.

Baru kusadar, di bawah pusarnya tampak segitiga warna hitam. Bentuknya mirip celana dalam, jadi bila tante tidak pakai celana dalam, itu bukanlah masalah, karena bulu-bulu kemaluannya sudah membentuk celana dalam. Itu pasti bulu kemaluannya yang dia bilang seperti hutan beringin. Aku jadi tambah penasaran. Aku tambah begitu bernafsu ingin tahu, dan Tante Juliet rupanya tahu hal itu.
"Sony sayang, kamu pingin liat 'hutan Kalimantan'-ku yang lain ya..?"
"Biar Sony lihat sendiri ya Tante..?" kataku.
Lalu aku menciumi pusarnya, dan turun ke bawah tanpa membuka celana dalamnya, hingga kurasakan bulu tebal tergesek ke hidungku, hingga jadi geli ingin bersin. Setelah itu kusisipkan jariku ke celana dalamnya. Kurasakan ketebalan bulu kemaluannya yang lebat. Aku tidak tahu dimana klitoris dan labia mayoranya.

"Rasakan Son, pasti kamu tahu, ayo.. do it..!" katanya.
Berkat tuntunannya, jemariku mulai tahu mana yang klitoris, mana yang labia mayora. Jemariku basah sekali karena cairan dari vagina yang berbulu lebat itu. Celana dalam tante jadi basah, sehingga semakin menempel ke vulva, dan bulu lebat itu makin terlihat jelas.
"Ayo sekarang buka CD Tante.. please..! Tante udah nggak tahan nich..!" katanya.
Lalu dipeganginya kepalaku yang setengah plontos, lalu digesek-gesekkan ke celana dalamnya yang basah kuyup dengan aroma yang khas dari vaginanya itu.

"Stop Son.. Tante udah nggak tahan Son..!" katanya.
Tiba-tiba dia melepas celana dalamnya, dan melemparkannya ke lantai. Lalu, wow..! Luar biasa, benar dugaanku.. bulu lebatnya membentuk segitiga seperti celana dalam. Lalu kunaikkan kaki kanannya ke kursi kerjanya. Wah..! Luar biasa. Kelebatan bulu kemaluannya menutupi vulva. Kusibakkan bulu kemaluannya itu, lalu tampaklah vulva yang berwarna agak gelap, kecoklatan, bukan kemerahan, bukan coklat muda. Aku terkesima. Kusibak dan belai bulu kemaluannya yang sedikit basah itu. Aku terus memandanginya. Lalu kuraba klitorisnya yang menyembul keras dan agak gelap itu.
"Ohh.. hhmm.. kamu nakal ya..!" katanya.

Batang kemaluanku kian menegang, kulihat ada tetesan maniku. Aku menghela nafas.
"Sekarang giliran batangmu ya, Sayang..?" kata Tante Juliet yang kemudian duduk di kursi kerjanya itu.
Aku yang dari tadi sudah telanjang dengan batang kejantanan yang menegak lalu mendekat ke tempat Tante Juliet duduk. Tante Juliet terkesima, terus dipandanginya batang kemaluanku. Tante Juliet langsung menggenggam batang kejantananku dengan kedua tangannya sekaligus, sepertinya dia mengukur panjang batang kemaluanku.
"Wow.., Son punya kamu dua kali genggaman tanganku.." katanya.
Kemudian dia menggenggamnya, tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
"Panas sekali punyamu Son.." bisiknya mesra.

Bersambung ke bagian 03

Awal Menjadi Gigolo 01

Namaku Sony, wajahku lumayan ganteng, tubuh tinggi dan sexy. Tetapi keadaan ekonomiku kurang mencukupi. Makanya aku pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang dapat memenuhi masa depanku. Pada waktu aku sedang mencari pekerjaan, kulihat ada papan iklan di sudut jalan, "DICARI COWOK DAN CEWEK UNTUK JADI MODEL.." Aku tertarik dan langsung pergi ke tempat yang ditunjukkan papan iklan itu. Setelah sampai, kulihat tempatnya ramai dengan orang yang ikut mendaftar menjadi model. Aku langsung saja masuk ke tempat itu.

Setelah giliranku mendaftar, aku ditanya sama Mbak yang mengurus bagian pendaftaran. Orangnya cantik dan tubuhnya wuih..
"Namanya siapa Mas..?" katanya.
"Sony, Mbak.." kataku sambil melihat wajahnya yang ayu.
"Boleh lihat kartu identitasnya Mas..?" katanya lagi.
"Ini Mbak.." kataku sambil menyerahkan KTP.
"Ok.., sekarang Mas masuk ke ruangan test ya.. Mas jalan aja lurus, terus belok kanan.., nach disitu Mas masuk aja ya..!" katanya.
Lalu aku pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh Mbak itu.

Aku duduk menunggu giliran. Ketika aku sedang menunggu, ada beberapa cewek-cowok yang keluar dari kamar itu dengan kepala tertunduk. Pasti mereka tidak lulus test.. aduh aku jadi takut dan badanku jadi gemetar tidak karuan.
Lalu.., "Mas Sony.." tiba-tiba ada suara memanggil namaku.
Langsung saja aku masuk ke ruangan test. Disitu ada 2 cewek cantik, mereka berdua memakai baju ketat, sehingga susu yang besar terlihat seperti menyembul, dan di bagian bawah mereka hanya memakai rok mini sekitar 10 cm dari 'anu'-nya.

"Mas Sony ya..? Aduh gantengnya. Sudah pernah jadi model sebelumnya..?" katanya.
"Belum pernah Mbak.. Saya baru aja datang dari desa.." kataku lugu.
"Ooo.. sekarang coba buka baju dan celananya Mas ya..?" katanya.
"Lho kok pake buka baju segala sih Mbak..? Emangnya Sony mau diapain..?" kataku.
"Mas mau jadi model nggak..? Kalau mau jadi model, ya harus nurut..! Ya.., ayo cepet gih buka bajunya.. sini biar kami bantu." katanya sambil terus menuju ke arahku untuk melepaskan bajuku, sementara temannya yang satunya melepaskan celanaku.

Lalu sekarang aku sudah setengah telanjang di depan mereka berdua yang cantik itu. Gundukan batang kejantananku di balik celana dalamku terpampang dengan jelas di depan mereka.
"Wow, besar juga ya kontol Mas. Mas Sony udah pernah ngeseks sebelumnya..?" tanyanya ketika melihat gundukan senjata kemaluanku di balik celana dalamku.
"Belum pernah Mbak.. Emangnya kenapa sih Mbak kok nanya yang gituan..?" kataku sambil memandang mereka yang kelihatannya tertarik dengan batang kejantananku yang lumayan besar.
"Begini Mas, kami mencari beberapa model yang masih 'hijau' pengalamannya.."
"Apa hubungannya Mbak jadi model sama pengalaman.. khan lebih banyak pengalamannya maka semakin bagus dia nantinya.." kataku.
"Kami hanya mencari cowok dan cewek yang setengah perawan begitulah.. sekarang saya mau ngetest kontol Mas.. ok..?" katanya sambil terus membuka pakaiannya satu-persatu, sementara yang satunya mendekatiku.

Dia memeluk tubuhku, menciumiku dan meraba-raba tubuhku. Sementara Mbak yang satunya sudah melepas baju ketatnya, sehingga susunya yang besar tergantung bebas. Rupanya dia tidak memakai BH. Wow.., ukurannya besar sekali. Baru kali ini kulihat susu sebesar itu. Lalu dia melepas rok mininya, dan.. ohh.., terpampanglah bentuk kemaluannya yang gundul dan montok itu. Setelah itu dia mendekatiku sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya yang bulat. Aku jadi teransang, dan akhirnya batang kejantananku menegang dan bertambah besar gundukannya di celana dalamku. Dia menggoyangkan tubuhnya sambil menempelkan kemaluannya ke gundukan batang kejantananku. Ohh.., batang kejantananku bertambah keras saja mendapatkan perlakuan seperti itu.

"Mas Son, CD-nya dibuka ya..? Kasihan yang di dalam pengen ketemu temennya.." katanya sambil dipelorotkannya celana dalamku.
Seketika itu juga batang kejantananku berdiri dengan kokohnya bagaikan "Pedang Nagapuspa".
"Aduh Mas.., kontolnya besar sekali.. eehhmm.." katanya lagi sambil mengurut batang kemaluanku.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, dia terus dengan lembutnya mempermainkan kemaluanku. Lalu aku disuruh tidur telentang. Sementara aku tidur di lantai yang dingin, Mbak itu dengan agresifnya terus mengulum batang kemaluanku.
Sementara itu Mbak yang satunya yang baru saja selesai membuka pakaiannya, langsung saja mengangkangkan kakinya di atas wajahku. Kemaluannya yang dikelilingi bulu lebat itu ditempelkannya di wajahku, lalu digeser-geserkan dengan irama lembut.
Lalu.., "Jilatin dong Mas Son.. eehhmm.." katanya memelas.
Akhirnya kudekatkan juga kepalaku ke lembah kemaluannya. Tercium bau khas vagina, dan kujulurkan lidahku menjilati kemaluannya yang sudah basah itu. Dia mengerang dan menggelinjang kecil menahan nikmat. Kulihat dia meremas sendiri buah dadanya dan memuntir-muntir sendiri puting susunya.
"Oh.. yess.., jilat terus Mas.., ohh.. yess..!" katanya sambil tangannya diangkat sebelah, sempat terlihat olehku bulu ketiaknya yang lebat sekali.
Mbak ini sungguh maniak sekali.

Beberapa saat kemudian dia meronta dengan kuat, "Aaahh.. ohh.. yess.. aargghh..," lalu dia menjepit kepalaku dengan pahanya, lalu menekan tubuhnya ke bawah agar kepalaku menempel lebih kuat lagi ke vaginanya. Aku jadi susah bernafas dibuatnya. Dia tambah mengerang, sementara Mbak yang satunya masih terus mengulum batang jenatananku yang tambah mengeras.
"Lagi Mas.. arghh.. sshh.. yah.. yah.. lagi.. oohh.." makin menggila lagi dia ketika aku mencoba mengulum klitorisnya dan memainkannya dengan lidahku di dalam mulut.
Aku memasukkan lidahku sedalam-dalamnya ke dalam lubang kemaluannya. Bau cairan kewanitaan semakin keras tercium. Vaginanya benar-benar sudah basah. Tiba-tiba dia menjambak rambutku dengan kuat, dan menggerakkan badannya naik turun dengan cepat dan kasar. Lalu dia menegang, dan tenang. Saat itu juga aku merasakan cairan hangat semakin banyak mengalir keluar dari liang kewanitaannya. Kujilati semuanya.

"Ohh.. God.. Bener-bener hebat kamu Mas Son.. ahh.. ngak kuat lagi deh untuk berdiri.. shitt..!" dia terbujur lemas di sampingku.
Aku hanya tersenyum, lalu Mbak yang tadi mengulum batang kejantananku kini mulai mengangkangkan kakinya di atas senjataku. Dan, "Bless.." dimasukkannya batangku pada lubangnya yang hangat dan sudah basah sekali.
Dia pun mulai menggoyangkan tubuhnya perlahan-lahan. Pertama dengan gerakan naik turun, lalu disusul dengan gerakan memutar. Wah.., Mbak ini rupanya sudah profesional sekali. Lubangnya kurasakan masih sangat sempit, makanya dia juga hanya berani gerak perlahan-lahan tetapi teratur.

Dengan posisinya itu, Mbak itu terlihat sangat cantik dan seksi, buah dadanya tergantung sangat menantang. Aku dengan posisi setengah duduk berusaha untuk menghisap susunya. Dia mengerang dan gerakannya bertambah cepat, jariku berusaha mencari lubang pantatnya yang saat ini menganga karena posisinya yang sedang berjongkok di atas batang kejantananku. Dengan mudah aku memasukkan jari tengahku ke dalam lubang pantatnya. Cairan dari vaginanya dan penisku membasahi lubang pantatnya, dan terasa sangat licin dan lengket. Aku mempermainkan jariku mengikuti irama turun naik badannya, dia terlihat menikmati sambil melempar kepalanya ke belakang.
Dia kemudian mengerang, "Ooocchh.. aachh.. yess..!"

Aku mencoba memasukkan jari kedua ke dalam lubang pantatnya, dan berhasil dengan mudah, lubangnya basah dan licin sekali. Dengan dua jari memasuki lubang pantatnya, dan batang kejantananku di vaginanya, dia setengah berteriak bilang, "Mas Son.., aku mau keluar.., ohh.. yess..!"
Dia berhenti naik turun dan menekan vaginanya keras-keras ke pangkal batangku, dan tidak lama terasa lubang kemaluannya berdenyut dengan keras. Dia mengerang dengan keras sambil memelukku dengan kuat. Dengan pijitan vaginanya, aku tidak dapat menahan diri dan bilang ke dia kalau aku juga akan keluar.
"Please.., give it to me, I want to feel it inside me.." katanya menjawab desahanku tadi.

Semprotan spermaku terasa sangat kuat dan banyak sekali. Bersamaan dengan semprotan itu, dia bilang, "Aku keluar lagi Mas Son.., oocchh.. it so goodd.."
Pantatnya ditekan keras-keras ke bawah, seakan-akan batang kejantananku kurang dalam memasuki liangnya. Kedua jariku kutekan dalam-dalam ke lubang pantatnya sambil digoyang-goyangkan di dalamnya. Terasa batang kemaluanku di dalam dibatasi oleh dinding pantat dan vaginanya. Dengan tetap memeluk tubuhku, dia merebahkan diri ke lantai yang dingin itu. Kakinya melingkar di pinggangku dan penisku tetap berada di dalam vaginanya.
Wajah, mata, dahi, hidung, pokoknya seluruhnya habis diciumi oleh Mbak itu sambil berkata, "Terima kasih Mas.. Mas Sony memang perkasa."

Melihat aku sudah selesai dengan temannya yang sudah tertidur itu, Mbak yang satunya mulai beraksi. Setelah selesai membersihkan batang kejantananku, Mbak yang tadi tertidur langsung menjilat batang kemaluanku lagi. Dengan tetap bersemangat, batang penisku dihisap dan dimasukkan ke dalam mulutnya.
Dengan cepat batang kejantanku menjadi keras lagi, dan dia berkata, "Mas Son, please fuck me from behind."
Dia terus membelakangiku, dan pantat serta vaginanya terlihat merekah dan basah. Sebelum aku memasukkan bnatang kemaluanku, kujilat dulu vaginanya dan lubang pantatnya. Tercium bau sabun LUX di kedua lubangnya, dan sangat bersih.
"Boleh juga nih cewek.." kupikir.
Cairan dari vaginanya mulai membasahi bibir kemaluannya, ditambah dengan ludahku.

Dari ujung penisku terlihat cairan menetes dari lubangnya. Kuarahkan penisku ke lubang vaginanya, dan menekan ke dalam dengan perlahan sambil merasakan gesekan daging kami berdua. Suara becek terdengar dari penisku dan vaginanya, dan cukup lama aku memompanya dengan posisi ini. Dia kemudian berdiri dan bersandar ke dinding sambil membuka pahanya lebar-lebar. Satu dari kakinya diangkat ke atas, dari bawah vaginanya terlihat sangat merah dan basah.
"Ayo Mas.., masukkan kontolnya.. please now." katanya sudah tidak sabaran.
Aku dengan senang hati berdiri dan memasukkan penisku ke vaginanya. Dengan posisi ini aku bergerak mememasuk-keluarkan penisku.

Sambil memeluk tubuhku dan berciuman, dia bilang, "Mas Son aku mau keluar, kita sama-sama Mas.. ohh.. yess..!"
Vaginanya diperkecil dan memijat penisku, dan dengan bersamaan kami emncapai puncak kenikmatan itu. Aku masih dapat juga keluar, walaupun tadi sudah keluar banyak sekali. Dan yang kali ini sama enaknya.

Bersambung ke bagian 02

Damned True Story 08

Sambungan dari bagian 07

Kepala gadis itu terjatuh ke samping karena sentakan yang kuat. Tapi matanya masih tetap menatap ke arah si pemuda. Tangannya terulur, menyeka lendir lengket di sudut bibir pemuda itu. Ray merasa napasnya lebih tenang. Tapi cengkeramannya mulai terasa sakit bagi si gadis.
"Sakit, Sayang." bisik si gadis dengan tersenyum.
"Ah, maaf," Ray melepaskan jemarinya.
"Sini..!" si gadis berbisik, tangannya terulur.
Pemuda itu menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Tidak berapa lama kemudian ia sudah berada dalam dekapan si gadis. Mata pemuda itu terpejam saat si gadis membelainya. Bibir si gadis tersenyum, lalu ia bersenandung dengan menggumam. Sampai si pemuda tenang, lalu mendengkur. Air mata si gadis menitik turun. Saat ia melihat sepasang mata mengintip dari lubang tersembunyi di atas pintu, si gadis anggukkan kepalanya. Aku baik-baik saja, kata lirikan mata si gadis.
Si pemuda mengerang, badannya mengejang, "Ssshh.. aku di sini.. di sini.."
Si gadis mendekap pemuda itu kencang-kencang. Badannya bergoyang-goyang. Lampu itu juga masih bergoyang. Walau lebih perlahan.

***

"Jangan! Tolong jangan.. huuhuu.. ia tidak gila.. tolong..!" gadis itu merintih.
Ia tidak tahan menyaksikan cintanya tersiksa. Pemuda itu meronta dari lengan-lengan yang mencekalnya. Empat orang pria kekar, memegangnya kasar. Si gadis menyesal telah menjerit tadi, saat si pemuda berusaha memperkosanya. Seorang pria lain menjentikkan ujung jemarinya pada jarum suntik. Si pemuda memandang dengan mata mendelik.

"PENDOSAA..! PENDOSA..! WANITA PENDOSA..! AKU DOSA..!"
Si gadis menutup bibirnya dengan tangan saat menyadari pemuda itu menatapnya.
"Aku.. aku sayang kamu.. huuhuu..," gadis itu meraung.
"PENDO.. HKK.. YA ALLAH.. ARRGGHH..!" Ray meronta untuk yang terakhir kali.
Tapi seseorang memegang rahangnya dan menarik kepalanya ke belakang, mirip kambing yang mau disembelih. Si gadis menjerit melihatnya.

Pria yang membawa suntik bergegas mencari nadi di tangan pemuda yang tertarik. Satu suntikan, itu saja yang dibutuhkan. Ray mengejang beberapa detik kemudian. Matanya membalik ke atas, dan kaki-kakinya melemas. Ia terjatuh. Pria-pria menghembuskan napas lega. Pemuda itu yang terkuat sebangsal. Keringat mereka mengucur.

Si gadis terjatuh di sisi pintu. Pria-pria itu melangkah keluar setelah mengikat tubuh Ray di atas tempat tidur. Pemuda itu merintih dan menggumam tidak jelas. Wajahnya terlipat seolah menahan nyeri yang amat sangat. Bukan nyeri pada tubuhnya yang sudah diracun valium. Tapi pada otaknya.

Si gadis merangkak menuju tempat tidur, lalu mengangkat tubuhnya sendiri ke atas kursi. Tangannya meraba sabuk kulit di pergelangan tangan si pemuda. Hatinya terasa pilu.
"Aku mencintaimu," ia berbisik.

Ray mengejang. Air liurnya kembali mengalir. Si gadis meletakkan kepalanya di atas perut si pemuda, menekan tubuh itu. Orang-orang itu memberinya dosis terlalu banyak, umpat si gadis. Dan memang itu dibutuhkan untuk menenangkan seseorang yang sudah terbiasa dengan anastesi. Tapi.. tapi.. dia Ray-ku, bisik si gadis. Si gadis memeluk Ray dengan hangat. Menangis di atas baju kusut. Si pemuda menggerung, mengerang beberapa kali. Lalu kerutan di wajahnya berangsur lenyap. Lalu pemuda itu terdiam. Lelapnya sudah datang.

Si gadis mengangkat kepalanya. Menatap wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya. Tanpa guratan luka. Tanpa lirikan yang liar. Tanpa senyum kegetiran. Ah, betapa inginnya ia pemuda itu mendadak membuka mata dan menarik senyumnya, lalu mereka dapat tertawa seperti dulu lagi. Dua minggu yang lalu..

Orang-orang menyeret pemuda itu ke rumah sakit dalam kondisi koma. Darah mengalir dari ujung sampai ke ujung lain lantai kamar. Sebuah sayatan panjang melintang di pergelangan tangannya. Matanya membuka (kata mereka, yang kemudian menjadi gossip menyeramkan di rumah sakit selama beberapa hari) dan air liur mengalir di sudut bibirnya. Napasnya tinggal satu-satu. Pisau lipat kecil tergeletak di sampingnya. Di samping gitar bergagang patah, dan botol tequila berleher panjang. Kamar itu hancur lebur. Pecahan kata di mana-mana. Dan di lantai, digurat dengan darah, 'PENDOSA'.

Tidak ada seorang pun yang mengerti maksudnya. Hanya si gadis yang kebetulan datang di tempat itu, memucat saat melihat segalanya. Ia punya kunci. Dan kunci itu membukakan gerbang keperihan itu untuknya. Menjerit, ia menghebohkan orang sekompleks. Ramai-ramai mereka datang. Ada yang membantu, ada pula yang lalu menggunjing.

Sekarang, gadis itu tetap di sisinya. Menatap dengan pilu, dengan kasih yang tiada taranya. Kasih yang sama yang membuat orang-orang berbaju putih itu pasrah saat ia memaksa untuk menunggui si pemuda tiap saat. Tangannya mengusap pipi pemuda lembut.

"Tolong, jaga anak kami." begitu ia mendengar wanita setengah baya berambut pirang itu berkata sambil tersedu, setelah anaknya mendorong tubuhnya keluar kamar, menghempaskannya ke lorong. Lelaki lima puluhan berwajah kaku di koridor rumah hanya menatap kosong. Urat-urat kemerahan di sudut matanya terlihat jelas. Gadis lain, yang berperawakan tinggi, berambut pirang juga, memeluk si wanita dengan menangis. Itu sebelum pria-pria kekar menyeret pemuda itu ke atas perbukitan yang dingin. Tempat orang-orang malang dibelenggu.

Tapi bukan itu yang membuat Moogie bertahan di tempat itu. Tidak ada siapa pun yang dapat memerintahkannya untuk menyayangi seseorang. Saat ini, ia merasa bahwa pemuda itulah yang terpenting dalam seluruh bagian kehidupannya. Jauh melebihi kuliah, pekerjaan sambilannya, dan keluarganya yang selalu meneleponnya untuk pulang ke rumah. Itu yang membuatnya berada di situ.

***

Siang hari, saat semua orang bahkan dapat merasakan teriknya matahari yang menembus hawa dingin, gadis itu merenung di depan makanannya, benaknya melayang-layang. Ia sama sekali tidak merasa lapar di hari yang keempat belas itu. Sesuatu mengatakan padanya bahwa 'sesuatu' akan terjadi. Ia memandang ke sekelilingnya. Keramaian itu tidak menghapus kesepiannya.

"Ini si Ray," ia berkata seraya menyisihkan segumpal nasi dengan sendoknya.
Ia tersenyum beberapa saat, lalu menyisihkan lagi segumpal nasi.
"Ini aku," ucapnya kemudian.
Ia memandang ke arah dua gumpalan nasi itu beberapa saat lamanya. Ia lalu mengambil empat butir kacang dan memberi mata pada gumpalan tersebut. Sehelai ca kangkung, menempati gumpalan pertama.
"Janggutnya Ray," canda si gadis pada dirinya sendiri.
Lalu ia mulai tenggelam dalam asiknya dua gumpal nasi yang lalu berciuman.

Seorang suster tua terenyuh saat melihat tetes air mata yang jatuh ke pipi gadis itu.

***

Aku tidak gila, pikir pemuda itu dalam hatinya. Aku hanya sedih. Tapi mereka menyuntikku seperti seorang pesakitan. Ia yakin, bekas-bekas benjol kemerahan di lengannya, di sebelah noda-noda hitam itulah yang berdenyut-denyut sekarang. Dan aku tidak dapat tidur. Mereka mengambil kasur itu dari kamar. Kini malah mereka memakaikan baju 'hannibal' ini padaku. Sial benar.

Pemuda itu menyandarkan kepalanya di tembok gabus. Aku capai, pikirnya dalam hati. Capai untuk meronta lepas. Aku bukan Houdini. Bukan Copperfield. Baju ini mengikatku terlalu kencang. Pemuda itu menengadahkan kepalanya, menatap lampu bertopi. Ia lalu merasa kebenciannya meledak terhadap lampu tenang itu. Ia berdiri, lalu melangkah ke bawah lampu. Ia meloncat setinggi-tingginya, berusaha memecahkan lampu itu. Tapi yang ia bisa hanya membuat lampu itu bergoyang. Ruangan menjadi gelap dan terang.. gelap dan terang.

Beberapa kali ia melompat, sampai kakinya pegal. Ia lalu jatuh terguling di atas lantai matras. Bahunya berguncang dan ia menangis seperti seorang anak kecil. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat kemudian. Sosok gadis itu tampak jelas di depan matanya. Kulit yang membiru. Lengan yang memeluk lutut. Wajah yang tersembunyi di lipatan tangan. Rambut-rambut basah dan gimbal lengket di mana-mana. Pemuda itu menahan napas.

Gadis itu mengangkat kepalanya. Matanya setengah terkatup. Bekas kulit pohon tempatnya bersandar sampai pagi terlihat jelas di pipinya. Bibirnya yang pecah dan kebiruan sedikit terbuka. Si pemuda merasa bulu kuduknya merinding. Lampu bertopi bergoyang terus. Sesekali menerangi, sesekali membayangi.
"Dingin, Ray.. dingin.."
Pemuda itu terhenyak. Ia membeliakkan matanya. Ray berguling, sedapat mungkin berdiri. Ia menubrukkan tubuhnya ke tembok gabus. Menjerit-jerit. Memanggil-manggil siapa saja.

"DINGIN.. RAY.. DINGIN.. SAYANG.. PENDOSAKU.."
"AARRGGHH..!" Ray menjerit sekuat tenaga.
Suara itu mengiang di telinganya. Pertama satu. Lalu sosok-sosok gadis lain muncul dari sudut-sudut ruangan. Berdiri dalam kondisi yang mengerikan. Kebiruan di kulit mereka. Dan mata-mata yang setengah terkatup menatapnya dengan beku. Bibir mereka bergerak-gerak.

Sosok-sosok itu mendekat, tangan mereka menggapai-gapai. Ray menggerung, meraung, berlari dari sudut ke sudut. Lalu kembali ke awal. Ia menabrakkan kepalanya ke sudut ruangan. Air matanya membanjir keluar.
"Tidak.. jangan.. maafkan aku.. ya Allah.."
Tapi bahkan Tuhan tidak menghapus ilusi itu. Hembusan angin dingin dari ventilasi seolah ratusan jemari hantu yang mengelus tengkuknya. Ray mengejang.

Ia membalikkan tubuh, menatap beringas ke arah sosok-sosok itu. Sesuatu melintas di benaknya, sesuatu yang dulu sekali, waktu ia dalam situasi yang sama, selalu terbayang olehnya. Cara paling mudah saat kau diikat. Dan kau ingin lepas. Ia tertawa, terkekeh dalam tangisnya.
"Kalian.. huhuhu.. hahaha.. kalian takkan bisa mendapatkanku.."

Sosok-sosok itu mendekat. Ray menegangkan seluruh tulang belakangnya. Ia memejamkan mata, mengerutkan keningnya, tertawa terbahak-bahak. Bayangan gadis berparas ayu yang selalu menemaninya selama di ruangan itu membuatnya pilu.
"Maafkan aku.. aku.. mencintaimu.. tulus.. satu-satunya.. yang terakhir.."
Lalu ia berjongkok, meletakkan setiap tenaganya pada kedua kakinya. Dan melompat berputar di udara. Lehernya menegang kaku. Matanya masih terpejam. Lalu sosok-sosok itu menghilang. Mengabur saat pemuda itu mendarat dengan kepala kaku ke bawah.

Lampu bertopi masih bergoyang. Kadang gelap.. kadang terang..

***

"Aku mencintaimu. Dan aku akan menunggumu sampai sembuh." Moogie menatap dua gumpalan nasi yang sudah menyatu itu.
Si gadis tersenyum. Hatinya hangat. Aku lapar, pikirnya dalam hati. Aku harus makan, supaya aku bisa menjaga Ray nanti. Menemaninya. Ia terkekeh saat membayangkan menyuapkan nasi bubur ke mulut pemuda itu. Kata-kata itu terngiang di otaknya. Kata-kata yang akan diucapkannya nanti, saat ia mendekap pemuda itu. Mungkin berguna.

"Aku sayang kamu. Dan aku berjanji takkan ada yang bisa menyakitimu lagi, atau membawamu kembali ke dalam masa lalumu. Aku akan menumbuhkan kekuatan di hatiku, supaya kamu bisa menyerapnya dariku. Cintaku. Dan kasihku.."
Burung-burung gagak mengepakkan sayapnya.

EPILOG:

Aku melangkahkan kakiku menelusuri trotoar. Saat-saat seperti ini aku lebih suka berjalan daripada naik mobil. Lagipula angin malam akan membuatku merasa lebih lega. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi. Kurapatkan jaket kulitku.

Surabaya bukanlah sebuah kota yang nyaman untuk pejalan kaki. Jarak antar tempat di pusat kota masih terlalu jauh. Tapi aku berjalan memang tanpa tujuan. Beberapa orang pemuda beraut sangar tampak saling bercanda di pinggir jalan. Saat aku lewat, mereka memandangiku. Aku tidak menoleh dan terus melangkah. Aku tidak bawa handphone, pikirku, uang di sakuku pun hanya tinggal dua puluh ribu.

Bersambung ke bagian 09

Damned True Story 09

Sambungan dari bagian 08

Sekitar sepuluh langkah kemudian aku mendengar mereka tertawa kembali. Aku tersenyum, imajinasiku terkadang terlalu berlebihan.

Beberapa puluh meter di depanku, aku dapat melihat bayangan bangunan beton berbentuk bambu runcing. Sementara di sekelilingku orang-orang tampak sibuk mengurusi pasar subuh. Ini bulan puasa, dan di jam-jam segini banyak sekali orang yang berbelanja. Aku menyeberangi jalan, menuju ke sisi trotoar yang berbeda. Aku terus melangkah sampai ke sebuah pos polisi.

"Huuhuu.."
Aku terkejut saat mendengar suara tangisan. Semula aku ragu-ragu untuk menengok ke dalam pos tersebut. Tapi entah mengapa, suara tangisan itu menguak rasa ingin tahuku. Aku mendekat dan mengintip.

Seorang gadis duduk bersimpuh di sisi lain pos polisi. Aku hanya dapat melihat bahunya yang berguncang. Aku melangkah dan berpura-pura tidak tahu. Gadis itu berhenti menangis saat aku melintas. Beberapa langkah kemudian aku mendengarnya menangis lagi. Akhirnya kuhentikan langkahku dan membalikkan tubuh.

"Hai," sapaku.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatapku dengan paras sedikit terkejut. Aku memandang wajahnya yang masih kemerahan itu. Ia tidak cantik, pikirku menilai (sebuah kebiasaan buruk yang selalu kulakukan setiap kali memandang anak hawa), tapi ia cukup manis dengan wajah bundar yang imut.

Gadis itu mengenakan sebuah jaket kulit hitam, mirip dengan yang kupakai saat itu, dengan bawahan jeans biru tua. Dari wajahnya dan bentuk tubuhnya, aku memperkirakan usianya masih di bawah dua puluh. Dan entah mengapa, dalam keremangan lampu kota, aku seolah dapat melihat wajahnya menyiratkan sebuah duka. Ia memandangku sejenak, lalu ia tersenyum.
"Hai juga," sapanya.
Aku ikut tersenyum dan berkata, "Menangis di tengah jalan? Dingin."
Ia tertawa lalu menyeka sisa air matanya, "Thanks."

Aku memandang berkeliling, dan memang beberapa orang yang tadi masih membenahi barang dagangannya menatapku dengan raut mencibir. Aku tersenyum kecut, dapat menduga apa yang telah terjadi pada diri gadis di hadapanku.

"Sepi?" tanyaku seraya mendudukkan tubuhku di sampingnya.
Ia menatapku heran sesaat lamanya, sebelum mengangguk lemah, "Iya, sepi."
"Lagian, ini kan bulan puasa," candaku sambil tertawa. Tapi ia hanya diam saja.
Kukira ia kecewa, saat beberapa menit yang lalu mengira bahwa aku adalah salah seorang hidung belang yang iseng berkeliaran malam-malam. Aku menjadi sedikit tidak enak.

"Pasti kamu takut pulang," tanyaku kemudian.
Ia memandangku dan mengangguk, "Iya, aku takut pulang."
Aku menoleh lagi ke arah orang-orang di pasar subuh. Saat itu kentongan sahur mulai disuarakan oleh beberapa orang. Aku menoleh lagi ke arah si gadis.
"Ayo, aku antar. Nanti kamu terlambat sahur. Mobilku ada di kantor, di sana."
"Aku tidak puasa."
"Mau tidak?" senyumku.
Ia menatapku beberapa saat lamanya.

Aku terkekeh dan bangkit beridiri, bersiap untuk melangkah.
"Tunggu..!" aku mendengar ia berseru di belakangku.
Beberapa orang tampak menatapku. Masih dengan cibiran yang sama.

Namanya Mutia. Lebih tepatnya Cut Mutia, itu yang dikatakannya padaku. Aku tidak ingin berpikir apakah itu nama aslinya atau tidak. Yang kutahu, dua puluh lima menit kemudian kami sudah berada di parkiran basement.
"Ayo masuk..!" ucapku. Ia memandangku ragu-ragu.
"Ayo..!" ajakku lagi, "Nanti warung-warung keburu tutup."
Ia tersenyum kali itu, lalu melangkah masuk.

Tidak ada cerita klise yang ingin kukorek darinya saat itu. Entah mengapa, keberadaannya membuatku sedikit senang. Terus terang saja, aku merasa kesepian setengah jam yang lalu. Dan kebetulan ada seseorang yang menemani.
"Mas, namanya siapa?"
Aku tertawa, berpikir sejenak, "Ray." sahutku dengan senyum getir.
Nama itu sudah menjadi seonggok bangkai di satu cerita. Tapi entah mengapa, hanya 'Ray' yang dapat kupikirkan saat itu.
"Kamu mau diantar ke mana? Simpang empat?" tanyaku sambil menyebutkan nama sebuah lokasi yang memang banyak digunakan oleh penjaja-penjaja seks. Gadis itu terlihat tersipu dan menggeleng.

"Kenapa?" tanyaku, "Kamu takut? Belum dapat pelanggan?"
Perlahan ia mengangguk. Aku tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu temani saja aku sampai pagi."
Aku terkejut saat lidahku berkata demikian. Ia melirikku dengan mata yang membesar, lalu ia kembali tersipu. Kasihan, pikirku dalam hati. Tapi satu kepastian telah muncul bagiku.

***

PLAKK..! Gadis itu menamparnya. Tapi pemuda itu tidak perduli. Ia bergeser ke samping, lalu melanjutkan langkahnya.
"Siapa kamu..! Siapa..?" si gadis menjerit di belakangnya.
Terduduk di atas rerumputan, menggerung dan meraung. Hatinya luka. Ray melangkah menjauh. Hatinya kosong. Benaknya sepi. Satu-satunya yang ia sadari, aku harus pergi.

Dan ia memang benar-benar pergi sore malam itu. Sore setelah ia memberikan naskah pada Moogie. Sebuah cerita ngawur tentang 'seseorang' yang ia inginkan 'mati' bagi gadis itu, dengan cara yang cukup mengerikan. Sebagaimana gadis itu juga menginginkan pertobatan 'orang' itu akan dosanya.

Dan lagi-lagi Ray bukan pergi dalam arti ke kota lain, atau ke negara lain. Ia benar-benar meninggalkan gadis itu. Seperti bagaimana ia selalu mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Ray Yang Perkasa, ia tidak membutuhkan gadis itu dalam deritanya. Ia tidak membutuhkan siapa pun. Dan bahkan pemuda itu bercerita dengan tertawa pada si gadis, sementara si gadis membaca cerita itu dengan mata berair, bagaimana ia tidak pernah perduli apa yang disebut cinta.

Ia pergi ke kantornya. Lalu meratap di sana, menangisi apa saja yang perlu ditangisinya. Menangisi kebodohannya selama beberapa bulan terakhir. Setelah itu, ia menjadi lebih tenang. Semua akan kembali seperti biasa, pikirnya dalam hati. Tidak sekilas pun di benaknya terlintas kemudian bagaimana keadaan gadis itu sekarang. Entah ia bunuh diri seperti Qra. Atau hanya sekedar menangis membabi buta. Atau bahkan hanya tertawa dengan mengatakan, aku juga tidak pernah serius.

Ia tidak perduli lagi tentang semua pengakuan yang gadis itu inginkan ia untuk menulisnya. Ia tidak perduli betapa besar cinta gadis itu padanya. Ia tidak perduli harus menatap wajah gadis itu di kantor pada hari-hari berikutnya. Ia tidak perduli akan apa yang ditanyakan dan dituduhkan orang-orang padanya. Ia tidak perduli sama sekali.

Ray akan tetap menjadi seorang Ray, bagaimanapun caranya. Dan salah seorang sahabat terbaiknya sudah pernah menyinggung bahwa, dead won't kill evils.
"Never..!" bisiknya sinis pada dirinya sendiri.
Dan selama ini hanya satu kelemahannya yang ia sadari, yaitu bahwa ia mencari cinta. Cinta yang terenggut darinya setelah kepergian Enni. Dan ia terlena karenanya. Ray tidak butuh cinta. Tidak butuh.
"Tak butuh," ia berbisik lagi.

Ray yang sedang jatuh cinta. Akan mati. Mati.. YA..! MATI..!

Ray yang tidak jatuh cinta. Akan tetap dingin seperti es. Seperti pusaran air yang tetap ada selama laut masih membentangi bumi. Menyerap semua yang ada di sisinya, untuk kemudian menghantamkan mereka ke batu-batu karang. Tidak perduli berapa korban yang jatuh. Ray yang tidak jatuh cinta ada di kasur malam itu, dengan wanita pertama yang dapat diajaknya kencan saat itu juga.

Seekor singa yang terluka.. akan semakin buas. Matinya nanti saja.

***

Aku terbangun pagi ini dengan wajah cerah. Gadis itu masih terlelap di sebelahku dengan wajah penuh kepuasan. Akhirnya ia tidak jadi pulang juga. Kuakui memang, semula aku berniat baik padanya. tapi pada akhirnya, hanya 'Ray' yang ada di kepalaku. Menatap wajah Mutia, membuat rasa 'Ray'-ku melambung. Lagi-lagi hal yang kulakukan pertama kali adalah membuka jendela dengan tersenyum, menikmati sinar mentari pagi yang menerpaku.
"Dunia ini indah," pikirku dalam hati.
Air hujan masih menitik dari genting. Satu-satu.

Hal yang kedua yang kulakukan pagi itu, adalah melangkah ke samping tempat tidur, membelai pipi Mutia yang halus. Gadis itu terbangun dan tersenyum. Gejolak cinta terbayang di matanya. Indah sekali.

Hal yang ketiga, adalah tertawa. Aku sudah dapat tertawa lagi! Dan tawa yang keluar adalah milik seorang Ray.

Di ujung sana, seorang gadis meratap. Aku tahu itu.
Di alam sana, seorang gadis menjerit. Aku tahu itu.
Di dalam sini, seorang pemuda tertawa. Aku lebih tahu itu.

TAMAT

Damned True Story 07

Sambungan dari bagian 06

Di mataku, Qra mendadak berubah menjadi Qra yang dulu. Yang masih kekanak-kanakan saat pertama aku berjumpa dengannya. Gayanya saat mengusap air mata, terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Senyuman di wajahnya mirip senyum anak kecil yang baru saja dapat mainan setelah merengek berjam-jam sambil menangis-nangis. Sesaat aku kembali merasakan kasih sayang itu di dadaku.

"Kamu tahu sesuatu, Ray?" Qra bertanya, sambil sesekali mengusap sudut matanya.
"Hmm..?" gumamku dengan nada bertanya.
"Susah mencari penggantimu. Lebih susah daripada menghitung sample skripsi."
Aku tergelak mendengar komparasi yang diajukannya.
"Hahaha, jangan begitu. Itu kan hanya kamunya sendiri yang mematok sesuatu sebagai standar untuk memperoleh yang lain. Itu salah, Qra. Tak ada yang sempurna di dunia ini."
Qra mengangguk. Kali ini aku melihat senyumnya benar-benar sebuah senyuman.

"Yang penting," lanjutku, "Aku kan sekarang ada di sini untuk menemani kamu."
Dalam hati aku mulai memaki diriku sendiri. Ray..! Mulutmu itu..! Kulihat Qra tersenyum.
"Iya. Aku tahu itu. Aku sudah bilang, kamu baik walau pada saat jahat."
Aku tergelak sekali lagi, "Kamu belum bisa memaafkanku, ya?" tanyaku dengan nada serius.
Qra menggelengkan kepalanya, "Belum."
"Aku sudah menduganya," senyumku kemudian.

"Ray..!" Qra memanggil namaku, beberapa saat setelah keheningan muncul.
"Ya..?"
"Bagaimana dengan tunanganmu yang dari Yogya itu?"
Kalau ada kilat menyambar saat itu juga, pasti takkan membuatku sekaku ketika Qra menanyakan hal itu. Aku tidak dapat menjawabnya. Otakku berputar.

"Ini tunanganku," begitu kataku seraya melirik ke arah Enni yang duduk di dalam mobil.
Saat itu Qra memandang dengan wajah berkerut. Kurasa ia sangat bingung waktu itu. Tidak ada baku hantam, tidak ada saling memaki, mendadak aku siang-siang datang bertamu dengan membawa seorang gadis lain dan mengakuinya sebagai tunanganku.
"Aku ngga tahu..," waktu itu ia berkata, "..aku ngga jelas.. Ray.."
"Aku pulang dulu. Sori," ucapku cepat saat itu, lalu membalikkan tubuh.

Qra berlari mengitari mobil dan menghentikan langkahku. Jemarinya mencengkeram lengan bajuku.
"Ray.. aku.. aku tak mengerti..!"
Saat itu aku menepis lengannya, tapi ia kembali mencengkeram. Akhirnya kugenggam pergelangan tangannya dengan kasar, menariknya, dan menyentak.
"Aku pergi..!" ucapku pendek saat itu.
Beberapa orang keluar dari rumah mereka untuk mendengar dan menyaksikan seluruh kejadian itu.

Qra menggerung saat itu, meneriakkan namaku. Tubuhnya terlipat dan ia tersungkur ke tanah, jemarinya mengais kerikil. Aku menatapnya dengan dingin, aku lupa bagaimana rasanya waktu itu. Yang kuingat hanyalah, bahwa aku melangkah masuk ke dalam mobil, menutup pintu, melipat spion dan menekan pedal gas. Melewati deretan orang-orang yang menatap bingung.

Selang beberapa saat. Aku berpaling dan menatap Enni dengan pandangan kosong. Seingatku, saat itu aku menangis. Percayalah, aku memang seorang yang cengeng.
"Puas?" tanyaku waktu itu. Dan gadisku hanya mengangkat bahu.
"Entahlah," ia berkata, "Kalau kamu ngga rela. Kita bisa putar sekarang."
Dan saat itu aku hanya terdiam. Permainan kotor yang kulakukan saat itu, permainan dosa.

Kembali pada saat aku terdiam. Benakku mulai ribut menyusun kata demi kata. Tapi tidak satu pun terangkai dengan baik.
"Aku tahu," mendadak aku mendengar Qra berbisik.
"Tahu..?" tanyaku mengulang. Kutatap matanya.
"Iya," desisnya, "Semua bohong, kan?"
"Aku.."
"Dan kekasih tunanganmu, tanda petik, itu sudah meninggalkanmu kan, Ray? Karena memang ia tak pernah kau miliki."
"Aku.."

Kengerian yang amat sangat merasukiku. Di hadapanku, mendadak Qra berubah menjadi sosok momok yang mengerikan. Jemari berkerutnya menuding ke arahku. Seolah mendesis menuduh dengan lidah bercabang, "Penipu.. penipu.. pen.. ni.. pu..!"

Kutarik wajahku berpaling ke arah lain, mencoba menghapus imajinasi yang mengerikan itu. Kupejamkan mataku. Saat aku sudah melupakan kejadian beberapa minggu lalu, kini seseorang membukanya kembali.
"Kamu tahu dari mana..?" desahku tanpa berani memandangnya.
"Aku..," kudengar Qra berbisik, "..aku selalu di belakangmu, Ray. Selalu."
Hatiku hancur seketika. Sampai sebegitu besarkah efek yang dialaminya. Sampai ia harus mengetahui segalanya tentangku.

"Dan kamu di sini.. untuk mentertawaiku.. begitu kan?" desahku lirih.
"Salah," Qra berkata.
Aku terkesiap. Bukan? Kutolehkan kepalaku dan melihat gadis itu tersenyum.
"Untuk apa, Ray? Untuk apa aku membalasmu? Aku menyayangimu."
Aku tidak tahu lagi harus berkata apa.

"Sini, Ray. Aku kasih tahu kamu sesuatu."
Qra lalu mengulurkan lengan, menggapai lenganku dan melingkarkannya di lehernya. Lalu gadis itu menunduk dan mengecup bibirku. Tanpa sadar kecupannya membuat mataku terpejam. Terpejam..! Semacam kehangatan mengalir di sekujur tubuhku.

"Jangan, Qra..!" desahku.
Ironis, saat aku menuliskan kisah ini. Biasanya gadis-gadis itulah yang mengatakannya. Tapi kali ini, aku mengatakannya dengan mata terpejam! Hatiku benar-benar menderita saat itu. Aku sadar apa yang hendak ditunjukkannya padaku. Aku tahu sekali.
"Sshh..!" Qra berkata, "Jangan sampai kamu meronta. Aku ingin kamu dengar ini."
"Jangan, Qra! Tolong, jangan..! Aku tak mau mendengarnya!"
Aku berusaha mendorongnya menjauh, tapi ia menekanku dengan bobot tubuhnya.

"Ray, dua minggu yang lalu, aku masih mencintainya. Aku berusaha keras membangun cintaku padanya," Qra menarik napasnya, dan menghembuskannya di bibirku.
"Ray," lanjutnya masih mendesah, "Ia melamarku.."
Aku tercekat sampai di situ. Pusing melanda otakku. Luka bekas operasi di tengkukku terasa membuka dan berdarah-darah. Nyeri, aku meronta.

"Jangan bergerak!" mendadak suaranya terdengar tegas dan memerintah.
Aku terdiam dan meringis memejamkan mata. Ya Allah, bisikku, mengapa pertobatanku tidak kunjung beroleh restu dari-Mu?
"Ia melamarku," Qra kembali mendesah.
"Dan kamu tahu kan, Ray. Kalau orang sudah mengajak menikah, pasti ada maunya."
Jangan, pekikku dalam hati. Hentikan cerita ini sampai di sini. Tapi bahkan saat menuliskannya ulang, jemariku bersikeras hendak menuliskan semua detil kejahatanku dengan sempurna.

"Memang, Ray." Qra mendesis.
Gadis itu menempelkan bibirnya di bibirku. Bukan hangat lagi yang kurasa, melainkan sebuah kebekuan yang begitu luar biasa. Dan aku tersentak saat mendadak ia merogoh kemaluanku dan menekannya. Aku mengerang seketika.
"Ia meniduriku, Ray," dan suara Qra bergetar, "Ia meniduriku.. hhgg.."
Ya Tuhan! Hentikan jemari ini sekarang!

"Ia meniduriku semalam suntuk! Ray..!" Qra memekik di depan wajahku, kurasakan air liurnya menyembur.
"Qra! Stop..!" aku menjerit dan meringis.
"Dan ia mencampakkanku setelahnya! SEPERTI SEKANTUNG SAMPAH..!"
"QRA..!" aku berteriak sekuat tenaga, meronta dan meronta.
"AKU SUDAH BUKAN PERAWAN LAGI..! RAY..! WHAT HAVE YOU DONE..! APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN..? APA SALAHKU PADAMU..?"

Aku menangis! Aku menangis saat itu. Menggerung seperti seorang pesakitan yang tertembak. Meraung seperti anak bayi yang payudara ibunya dijauhkan dari bibirnya. Aku menangis saat menuliskan cerita ini.

Aku menghentak sekuat tenaga sambil meraung. Tubuh gadis itu terjengkang hingga terdengar suara 'jeduk' dari kaca. Kututupi semua telingaku. Tidak ingin mendengar gerungannya dan erangku sendiri. Kuratapi nasibku.., kuratapi dosa-dosaku di depan-Nya. Kurapal kalimat-kalimat syahadat itu. Ya Allah.. inikah balasannya..? Ampunilah.. ampunilah..!

"Aku tadi hendak membawamu menjumpainya, Ray. Berharap ia mau menjotos kepala busukmu itu." kudengar Qra mendesis.
Aku tercekat. Telapak tangan yang menempel di telingaku tidak kuasa menahan susupan suaranya.
"Tapi sayang, Ray..!" Qra mengeluh. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.
"Karena ternyata ia sedang asyik meniduri gadis lain. Di depan mataku."
Kutarik seluruh rambutku ke belakang. Air mataku sudah membanjir keluar. Kusebut-sebut nama-Nya dalam ratapanku. Mohon ampunan-Nya.

"Ray..!"
Aku nyaris tidak mendengar ia memanggil namaku. Tapi kemudian kurasakan jemarinya menjambak rambutku dan tangannya yang lain menepis kedua lenganku dari telinga. Ia menarik kelopak bawah mataku, memaksaku menatapnya. Ia tersenyum sinis, dan matanya menyala seperti mata kucing di malam hari.
"Aku rasa sudah cukup untukmu malam ini. Antar aku pulang. Cepat..!"
Aku tidak kuasa bergerak lagi. Sekujur tubuh dan sendiku terasa sakit dan lemas. Tengkukku berdenyut nyeri. Kurasa aku bisa mati saat itu juga.

"Pengecut lemah! Heran kenapa aku bisa menyukaimu dulu."
Aku mendengar ia mengumpat beberapa kata lagi, sebelum melempar kepalaku ke bawah, menghantam hand rem persis di hidungku. Tapi tidak ada sakit fisik yang dapat kurasakan saat itu, hanya sakit di jiwaku. Di dalam hati ini.

Lalu kudengar ia membuka pintu mobil, dan menutupnya kembali. Aku shock. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku terdiam beberapa saat lamanya. Terpekur seperti orang gila. Menatap jok mobil tanpa reaksi jelas dari sel-sel otakku. Saat kesadaran perlahan mulai timbul, aku terkesiap. Kuangkat tubuhku dan menekan pedal gas. Mobil meluncur perlahan, mataku menelusuri setiap meter bahu jalan tol. Mencari dan mencari. Tapi aku tidak menemukannya.

Dosaku hilang bersamanya. Tanpa terampuni. Kuharap ini semua selesai. Sebelum aku memejamkan mata besok malam. Pengakuan dosa ini, menyakitkan.

Sampai cerita ini selesai ditulis, aku bahkan tidak kuasa menghubungi Moogie setelahnya. Pagi ini aku ketakutan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Qra. Aku hanya dapat berdoa, semoga nanti aku dapat menghubunginya. Semoga ia sudah pulang ke kost-nya.

'Sebuah pertobatan, bukanlah jalan keluar untuk lari dari tanggung jawab.' Satu hal yang kupelajari malam ini.

BAGIAN TERAKHIR.

Sebuah ruangan empat kali empat. Suasana seakan sekejap terang, sekejap gelap. Lampu bertopi itu bergoyang-goyang di gantungannya. Bayangan gelap berlari kesana kemari. Wajah-wajah yang tergubah dari ilusi bentuk gabus di tembok meringis menyeramkan. Dan dingin yang keluar dari lubang ventilasi AC terasa membekukan.

Mati.. hidup.. mati.. hidup.. mati..

Pemuda itu masih menjentikkan kuku-kukunya.
Cetik.. cetik.. cetik..
Kakinya selonjor di lantai. Tidak berkedip walau cahaya persis menerpa matanya. Rambut-rambut lengket menutupi sisi wajahnya bagaikan tirai kusut.

Hidup.. mati.. hidup.. mati.. hidup..

Gadis yang menelungkup di pinggir tempat tidur hanya mengamati. Ia tidak tersenyum, tidak pula menangis. Pandangannya menatap kosong. Jemarinya memainkan ujung rambutnya. Angannya seolah melayang. Jauh, jauh sekali. Keheningan menyelimuti suasana hati mereka yang sibuk dengan pemikiran masing-masing. Entah sudah berapa lama kondisi itu berlangsung. Sementara waktu tetap berlalu.

Lama kemudian, lalu mendadak mata mereka bertemu, si pemuda melengos.
"Pulang saja," ia berkata.
Si gadis mengangkat kepalanya, menggeleng lemah, lalu kembali menempelkan pipinya ke seprei.
"Aku akan tetap di sini."

Ray mengerutkan alisnya. Pemuda itu bangkit berdiri, hendak meraih jaket kulit di gantungan, seperti yang biasa ia lakukan. Tapi jaket itu tidak ada di sana. Ia membeliak seketika. Matanya mencari-cari liar. Keringatnya mengucur.
"Aku.. aku dimana?" bibirnya bergumam.
Gadis di atas tempat tidur menatap dengan sendu.
"HAARRGGHH..! AKU DI MANA..!"

Tapi ruangan empat kali empat itu tetap diam. Bahkan tidak ada gema. Si gadis menutup telinganya. Menguatkan batinnya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan tetap aman. Apapun yang terjadi. Karena ia percaya pemuda itu mencintainya. Ray meloncat dari sudut ke sudut. Matanya merah, jemarinya meraba-raba. Gabus! Semua Gabus! Air liur keluar di bibirnya saat ia membalikkan tubuh. Dengan satu lompatan ia sudah mencengkeram pundak si gadis.

Bersambung ke bagian 08