KasaK KusuK - Nama saya Reni (samaran) saat ini usia 28 tahun. Kata orang saya  memiliki segalanya kekayaan, kecantikan dan keindahan tubuh yang menjadi  idaman setiap wanita. Dengan tinggi 165 cm dan berat 51 menjadikan aku  memiliki pesona bagi lelaki mana saja. Apalagi wajahku boleh dibilang  cantik dengan kulit kuning langsat dan rambut sebahu. Aku telah menikah  setahun lebih. 
Latar belakang keluargaku adalah dari keluarga Minang yang  terpandang. Sedangkan suamiku, sebut saja Ikhsan adalah seorang staf  pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang.
Setelah suamiku menyelesaikan studinya di luar negeri, aku  mengusulkan untuk mengajukan pindah ke kota Padang agar dapat berkumpul  lagi dengan keluarga.
Setelah melalui birokrasi yang cukup memusingkan  ditambah sogok sana sogok sini akhirnya aku bisa pindah di kantor pusat  di Kota Padang.
Sebagai orang baru, aku tentu saja harus bekerja keras untuk  menunjukkan kemampuanku. Apalagi tugas baruku di kantor pusat ini adalah  sebagai kepala bagian. Aku harus mampu menunjukkan kepada anak buahku  bahwa aku memang layak menempati posisi ini. Sebagai konsekuensinya aku  harus rela bekerja hingga larut malam menyeleseaikan tugas-tugas yang  sangat berbeda saat aku bertugas di kepulauan dahulu. Hal ini membuat  aku harus selalu pulang larut malam karena jarak rumah kami dengan  kantor yang cukup jauh yang harus kutempuh selama kurang lebih 30 menit  dengan mobilku.
Akibatnya aku jadi jarang sekali bercengkerama dengan suamiku yang  juga mulai semakin sibuk sejak karirnya meningkat. 
Praktis kami hanya  bertemu saat menjelang tidur dan saat sarapan pagi.
Atas kebijakan pimpinan aku selalu dikawal satpam jika hendak pulang.  Sebut saja namanya Pak Marsan, satpam yang kerap mengawalku dengan  sepeda motor bututnya yang mengiringi mobilku dari belakang hingga ke  depan halaman rumahku untuk memastikan aku aman sampai ke rumah. Dengan  demikian aku selalu merasa aman untuk bekerja hingga selarut apapun  karena pulangnya selalu di antar. Tak jarang aku memintanya mampir untuk  sekedar memberinya secangkir kopi hingga suamiku pun mengenalnya dengan  baik. 
Bahkan suamiku pun kerap kali memberinya beberapa bungkus rokok  Gudang Garam kesukaannya.
Pak Marsan adalah lelaki berusia 40 tahunan. Tubuhnya cukup kekar  dengan kulit kehitaman khas orang Jawa. Ia memang asli Jawa dan katanya  pernah menjadi preman di Pasar Senen Jakarta. Ia sudah menjadi satpam di  bank tempat saya bekerja selama 8 tahun. Ia sudah beristri yang  sama-sama berasal dari Jawa. Akupun sudah kenal dengan istrinya, Yu  Sarni.
Suatu hari, saat aku selesai lembur. Aku kaget saat yang mengantarku  bukan Pak Marsan, tetapi orang lain yang belum cukup kukenal.
“Lho Pak Marsan di mana, Bang?” tanyaku pada satpam yang mengantarku.
“Anu, Bu, Pak Marsan hari ini minta ijin tidak masuk. Katanya istrinya melahirkan,” katanya dengan sopan.
Akhirnya aku tahu kalau yang mengantarku adalah Pak Sardjo, satpam yang biasanya masuk pagi.
“Kapan istrinya melahirkan?” tanyaku lagi.
“Katanya sih hari ini atau mungkin besok, Bu,” jawabnya.
Akhirnya hari itu aku pulang dengan diiringi Pak Sardjo.
Awal Perselingkuhan
Sudah dua hari aku selalu dikawal Pak Sardjo karena Pak Marsan tidak  masuk kerja. Hari Minggu aku bersama suamiku memutuskan untuk menjenguk  istri Pak Marsan di Rumah Sakit Umum. Akhirnya aku mengetahui kalau Yu  Sarni mengalami pendarahan yang cukup parah atau bleeding. Dengan  kondisinya itu ia terpaksa menginap di Rumah Sakit untuk waktu yang agak  lumayan setelah post partum. Atas saran suamiku aku ikut membantu biaya  perawatan istri Pak Marsan, dengan pertimbangan selama ini Pak Marsan  telah setia mengawalku setiap pulang kerja.
Sejak saat itu hubungan keluargaku dengan keluarga Pak Marsan seperti  layaknya saudara saja. Kadangkala Yu Sarni mengirimkan pisang hasil  panen di kebunnya ke rumahku. Walaupun harganya tidak seberapa, tetapi  aku merasa ada nilai lebih dari sekedar harga pisang itu. Ya, rasa  persaudaraan! Itulah yang lebih berharga dibanding materi sebanyak  apapun. Sering pula aku mengirimi biskuit dan sirup ke rumahnya yang  sangat sederhana dan terpencil. Memang rumahnya berada di tengah kebun  yang penuh ditanami pisang dan kelapa.
Karena seringnya aku berkunjung ke rumahnya maka tetangga yang  letaknya agak berjauhan sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarga  Pak Marsan.
Suatu hari, saat aku pulang lembur seperti biasa aku diantar Pak  Marsan. Begitu sampai ke depan rumah tiba-tiba hujan mengguyur dengan  derasnya hingga kusuruh Pak Marsan untuk menunggu hujan reda.
Aku suruh pembantuku, Mbok Rasmi yang sudah tua untuk membuatkan kopi  baginya. Sementara Pak Marsan menikmati kopinya aku pun masuk ke kamar  mandi untuk mandi. Merupakan kebiasaanku untuk mandi sebelum tidur.
Hujan tidak kunjung reda hingga aku selesai mandi, kulihat Pak Marsan  masih duduk menikmati kopinya dan rokok kesukaannya di teras sambil  menerawang hujan. Hanya dengan mengenakan baju tidur babydoll, aku ikut  duduk di teras untuk sekedar menemaninya ngobrol. Kebetulan lampu  terasku memang lampunya agak remang-remang. Memang sengaja kuatur  demikian dengan suamiku agar enak menikmati suasana.
“Gimana sekarang punya anak, Pak? Bahagia kan?” tanyaku membuka percakapan.
“Yach.. bahagia sekali, Bu..! Habis dulu istri saya pernah keguguran  saat kehamilan pertama, jadi ini benar-benar anugrah yang tak terhingga  buat saya, Bu.. Apalagi kami berdua sudah tidak muda lagi…”
“Memang, Pak… Aku sendiri sebenarnya sudah ingin punya anak, tetapi…”  Aku tidak dapat meneruskan kata-kataku karena jengah juga membicarakan  kehidupan seksualku di depan orang lain.
“Tetapi kenapa, Bu… Ibu kan sudah punya segalanya.. Mobil ada… Rumah  juga sudah ada… Apa lagi,” timpalnya seolah-olah ikut prihatin.
“Yach…itu lah pak… dari materi memang kami tidak kekurangan, tetapi  dalam hal yang lain mungkin kehidupan Yu Sarni lebih bahagia.”
“Mmm maksud ibu…” tanyanya terheran-heran.
“Itu lho pak… Pak Marsan kan tahu kalau saya selalu kerja sampai  malam sedangkan Bang Ikhsan juga sering tugas ke luar kota jadi kami  jarang bisa berkumpul setiap hari. Sekarang aja Bang Ikhsan sedang tugas  ke Jakarta sudah seminggu dan rencananya baru empat hari lagi baru  kembali ke Padang.”
“Yachh.. memang itulah rahasia kehidupan, Bu… 
Kami yang orang kecil  seperti ini selalu kesusahan mikir apa yang hendak dimakan besok pagi…  sedangkan keluarga Ibu yang tidak kekurangan materi malah bingung tidak  dapat kumpul.”
Matanya sempat melirikku yang saat itu mengenakan babydoll dari satin  berwarna pink. Dalam balutan pakaian itu, pundak dan pahaku yang putih  memang terbuka. Aku mengenakan pakaian itu karena memang tadinya niatnya  akan langsung tidur. Di samping itu aku sudah merasa dekat dengan Pak  Marsan yang selama ini selalu bersikap sopan padaku. Istrinya pun sudah  dekat denganku. Demikian pula sebaliknya suamiku dengan Pak Marsan. Jadi  aku tak merasa risih berpakaian seperti itu di depan Pak Marsan.
Baru kusadar sewaktu melihat jakunnya naik turun melihat kemolekan  tubuhku. Aku sadar tubuhku yang terbuka telah membuatnya terangsang.  Bagaimanapun, ia tetaplah seorang lelaki normal…
Mungkin karena hujan yang semakin deras dan aku pun jarang dijamah suamiku membuat gairah nakalku bangkit.
Aku sengaja mengubah posisi dudukku sehingga pakaianku yang sudah  mini itu jadi tersingkap. Pahaku yang mulus kini sepenuhnya kelihatan.  Hal ini membuat duduknya semakin gelisah. Matanya berkali-kali mencuri  pandang ke arah pahaku.
“Sebentar Pak, saya ambil minuman dulu,” kataku sambil bangkit dan  berjalan masuk. Aku sadar bahwa pakaian yang kukenakan saat itu agak  tipis sehingga bila aku berjalan ke tempat terang tubuhku akan membayang  di balik gaun tipisku.
“Oh ya, Pak Marsan masuk saja ke dalam soalnya hujan kan… Di luar dingin…”
“I..iya, Bu..” jawab Pak Marsan agak tergagap karena lamunannya terputus oleh undanganku tadi.
Jakunnya semakin naik turun dengan cepat. Aku tahu ia tentu sudah  lama tidak menyentuh istrinya sejak melahirkan bulan kemarin, karena  usia kelahiran bayinya belum genap 40 hari. Suasana sepi di rumahku  ditambah dengan dinginnya malam membuat gairahku bergejolak menuntut  penuntasan.
Apa boleh buat aku harus berhasil menggoda Pak Marsan, apapun caranya. Demikian tekad nakalku menari-nari dalam kepalaku.
Pak Marsan pun masuk dan duduk di sofa ruang tamuku. Mbok Sarmi sudah  terlelap di kamarnya di belakang. Aku yang semakin gelisah sibuk  mencari-cari akal bagaimana menundukkan Pak Marsan yang tentu saja tidak  mungkin berani untuk memulai karena aku adalah bosnya di kantor.
Setelah mengambil minuman, aku duduk di ruang tamu berhadap-hadapan  dengan Pak Marsan. Duduknya semakin gelisah melihat penampilanku yang  sangat segar habis mandi tadi. Akhirnya mungkin karena tidak tahan atau  karena udara dingin ia minta ijin untuk ke kamar kecil.
“Eh.. anu, Bu.. Boleh minta ijin ke kamar kecil, Bu.”
“Silakan, Pak.. Pakai yang di dalam saja.”
“Ah.. enggak, Bu saya enggak berani.”
“Enggak apa-apa… Itu, Pak Marsan masuk aja, nanti ada di dekat ruang tengah itu.”
“Baik, Bu…”
Sambil berdiri ia membetulkan celana seragam dinasnya yang ketat. Aku  melihat ada tonjolan besar yang mengganjal di sela-sela pahanya. Aku  membayangkan mungkin isinya sebesar tongkat pentungan yang selalu  dibawa-bawanya saat berjaga… atau bahkan mungkin lebih besar lagi.
Agak ragu-ragu ia melangkah masuk hingga aku berjalan di depannya  sebagai pemandu jalan. Akhirnya kutunjukkan kamar kecil yang bisa  dipakainya. Begitu ia masuk aku pun pergi ke dapur untuk mencari makanan  kecil, sementara di luar hujan semakin lebat diiringi petir yang  menyambar-nyambar.
Aku terkejut saat aku keluar dari dapur tiba-tiba ada tangan kekar  yang memelukku dari belakang. Toples kue hampir saja terlepas dari  tanganku karena kaget. Rupanya aku salah menduga. Pak Marsan yang kukira  tidak mempunyai keberanian ternyata tanpa kumulai sudah mendahului  dengan cara mendekapku. Napasnya yang keras menyapu-nyapu kudukku hingga  membuatku merinding.
“Ma..maaf, Bu.. say.. saya sudah tidak tahan…” desisnya diiringi dengus napasnya yang menderu.
Lidahnya menjilat-jilat tengkukku hingga aku menggeliat sementara  tangannya yang kukuh secara menyilang mendekap kedua dadaku. Untuk  menjaga wibawaku aku pura-pura marah.
“Pak Marsan… apa-apaan ini” suaraku agak kukeraskan sementara  tanganku mencoba menahan laju tangan Pak Marsan yang semakin liar  meremas payudaraku dari luar gaunku.
“Ma..af, Bu.. say.. saya.. sudah tidak tahan lagi..” diulanginya  ucapanya yang tadi tetapi tangannya semakin liar bergerak meremas dan  kedua ujung ibu jarinya memutar-mutar kedua puting payudaraku dari luar  gaun tipisku.
Perlawananku semakin melemah karena terkalahkan oleh desakan napsuku  yang menuntut pemenuhan. Apalagi tonjolan di balik celana Pak Marsan  yang keras menekan kuat di belahan kedua belah buah pantatku. Hal ini  semakin membuat nafsuku terbangkit ditambah dinginnya malam dan derasnya  hujan di luar sana. Suasana sangat mendukung bagi setan untuk menggoda  dan menggelitik nafsuku.
Tubuhku semakin merinding dan kurasakan seluruh bulu romaku berdiri  saat jilatan lidah Pak Marsan yang panas menerpa tulang belakangku.  Tubuhku didorong Pak Marsan hingga tengkurap di atas meja makan dekat  dapur yang kokoh karena memang terbuat dari kayu jati pilihan. Saat  itulah tiba-tiba salah satu tangan Pak Marsan beralih menyingkap gaunku  dan meremas kedua buah pantatku.
Aku semakin terangsang hebat saat tangan Pak Marsan yang kasar  menyusup celana dalam nylonku dan meremas pantatku dengan gemas.  Sesekali jarinya yang nakal menyentuh lubang anusku.
Gila..!! Benar-benar lelaki yang kasar dan liar. Tapi aku senang  karena suamiku biasanya memperlakukanku bak putri saat bercinta  denganku. Ia selalu mencumbuku dengan lembut. Ini sensasi lain..!! Kasar  dan liar…apa lagi samar-samar kucium aroma keringat Pak Marsan yang  berbau khas lelaki! Tanpa parfum…gila aku jadi terobsesi dengan bau khas  seperti ini. Hal ini mengingatkanku pada saat aku bermain gila dengan  Pak Sitor di kepulauan dahulu.
“Akhh..pakk..Marsannhh jangg…anhhhh” desahku antara pura-pura menolak dan meminta.
Ya, harus kuakui kalau aku benar-benar rindu pada jamahan lelaki  kasar macam Pak Marsan. Pak Marsan yang sudah sangat bernafsu sudah  tidak mempedulikan apa-apa lagi. Dengan beringas dan agak kasar  digigitnya punggungku di sana-sini sehingga membuat aku menggeliat dan  menggelepar seperti ikan kekurangan air. Apalagi saat bibirnya yang  ditumbuhi kumis tebal seperti kumisnya pak Raden mulai menjilat-jilat  pantatku.
“Akhh..pakk..akhh..jang..akhh”
Kepura-puraanku akhirnya hilang saat dengan agak kasar mulut Pak  Marsan dengan rakusnya menggigiti kedua belah pantatku!! Luar biasa  sensasi yang kurasakan saat itu. Pantatku bergoyang-goyang ke kanan dan  kiri menahan geli saat digigit Pak Marsan. Mungkin kalau disyuting lebih  dahsyat dibanding goyang ngebornya si Inul yang terkenal itu.
“Emhh..pantat ibu indahh…” kudengar Pak Marsan menggumam mengagumi  keindahan pantatku. Lalu tanpa rasa jijik sedikitpun lidahnya menyelusup  ke dalam lubang anusku dan jilat sana jilat sini.
“Ouch…shh…Am..ampunnhhh” aku mendesis karena tidak tahan dengan  rangsangan yang diberikan lelaki kasar yang sebenarnya harus menghormati  kedudukanku di kantor. Aku benar-benar pasrah total.
Liang vaginaku sudah berkedut-kedut seolah tak sabar menanti  disodok-sodok. Rangsangan semakin hebat kurasakan saat tiba-tiba kepala  Pak Marsan menyeruak di sela-sela pahaku dan mulutnya yang rakus mencium  dan menyedot-nyedot liang vaginaku dari arah belakang.
Secara otomatis kakiku melebar untuk memberikan ruang bagi kepalanya  agar lebih leluasa menyeruak masuk. Aku sepertinya semakin gila. Karena  baru kali ini aku bermain gila di rumahku sendiri. Tapi aku tak peduli  yang penting gejolak nafsuku terpenuhi. Titik!
“Ouch… shh…terushhh.. Ohhh, Pak Marsanhhh…”
Dari menolak aku menjadi meminta! Benar-benar gila!! Pantatku semakin  liar bergoyang saat lidah Pak Marsan menyelusup ke dalam alur sempit di  selangkanganku yang sudah sangat basah dan menjilat-jilat kelentitku  yang sudah sangat mengembang karena birahi. Aku merasakan ada suatu  desakan maha dahsyat yang menggelora, tubuhku seolah mengawang dan  ringan sekali seperti terbang ke langit kenikmatan. Tubuhku  berkejat-kejat menahan terpaan gelora kenikmatan.
Pak Marsan semakin liar menjilat dan sesekali menyedot kelentitku  dengan bibirnya hingga akhirnya aku tak mampu lagi menahan syahwatku.
“Akhhh…Pak Marsannnhhh akhhh…”
Aku mendesis melepas orgasmeku yang pertama sejak seminggu kepergian  suamiku ini. Nikmat sekali rasanya. Tubuhku bergerak liar untuk beberapa  saat lalu akhirnya terdiam karena lemas. Napasku masih memburu saat Pak  Marsan melepaskan bibirnya dari gundukan bukit di selangkanganku. Lalu  masih dengan posisi tengkurap di atas meja makan dengan setengah  menungging tubuhku kembali ditindih Pak Marsan.
Kali ini ia rupanya sudah menurunkan celana dinasnya karena aku  merasakan ada benda hangat dan keras yang menempel ketat di belahan  pantatku. Gila panas sekali benda itu! Aku terlalu lemas untuk bereaksi.
Beberapa saat kemudian aku merasakan benda itu mengosek-osek belahan  kemaluanku yang sudah basah dan licin. Sedikit demi sedikit benda keras  itu menerobos kehangatan liang kemaluanku. Sesak sekali rasanya. Mungkin  apa yang kubayangkan tadi benar!! Karena selama ini aku belum pernah  melihat ukuran, bentuk maupun warnanya! Tapi aku yakin kalau warnanya  hitam seperti si empunya!!
Aku kembali terangsang saat benda hangat itu menyeruak masuk dalam kehangatan bibir kemaluanku.
“Hkkk…hhh.. shhh.. mem..mekhh Bu.. Ren..ni benar-benar legithhhh…”  Gumam Pak Marsan di sela-sela napasnya yang memburu. Didesakkannya  batang kemaluan Pak Marsan ke dalam lubang kemaluanku. Ouhhh lagi-lagi  sensasi yang luar biasa menerpaku. Di kedinginan malam dan terpaan deru  hujan kami berdua justru berkeringat…
Gila… Pak Marsan menyetubuhiku di ruang makan tempat aku biasanya  sarapan pagi bersama suamiku! Gaunku tidak dilepas semuanya, hanya  disingkap bagian bawahnya sedangkan celana dalam nylonku sudah terbang  entah kemana dilempar Pak Marsan.
“Ouhh Pak Marsann.. ahhhh….”
Aku hanya mampu merintih menahan nikmat yang amat sangat saat Pak  Marsan mulai memompaku dari belakang! Dengan posisi setengah menungging  dan bertumpu pada meja makan, tubuhku disodok-sodok Pak Marsan dengan  gairah meluap-luap.
Tubuhku tersentak ke depan saat Pak Marsan dengan semangat  menghunjamkan batang kemaluannya ke dalam jepitan liang kemaluanku! Lalu  dengan agak kasar ditekannya punggungku hingga dadaku agak sesak  menekan permukaan meja! Tangan kiri Pak Marsan menekan punggungku  sedangkan tangan kanannya meremas-remas buah pantatku dengan gemasnya.
Tanpa kusadari tubuhku ikut bergoyang seolah-olah menyambut dorongan  batang kemaluan Pak Marsan. Pantatku bergoyang memutar mengimbangi  tusukan-tusukan batang kemaluan Pak Marsan yang menghunjam dalam-dalam.
Suara benturan pantatku dengan tulang kemaluan Pak Marsan yang  terdengar di sela-sela suara gemuruh hujan menambah gairahku kian  berkobar. Apalagi bau keringat Pak Marsan semakin tajam tercium  hidungku. Oh..inikah surga dunia… Tanpa sadar mulutku bergumam dan  menceracau liar.
“Ouhmmm terushh.. terushh.. yang kerashhh..”
Aku menceracau dan menggoyang pantatku kian liar saat aku merasakan detik-detik menuju puncak.
“Putar, Bu…putarrrhh”
Kudengar pula Pak Marsan menggeram memberiku instruksi untuk  memuaskan birahinya sambil meremas pantatku kian keras. Batang  kemaluannya semakin keras menyodok liang kemaluanku yang sudah kian  licin. Aku merasakan batang kemaluan Pak Marsan mulai berdenyut-denyut  dalam jepitan liang kemaluanku.
Aku sendiri merasa semakin dekat mencapai orgasmeku yang kedua.  Tubuhku serasa melayang. Mataku membeliak menahan nikmat yang amat  sangat. Tubuh kami terus bergoyang dan beradu, sementara gaunku sudah  basah oleh keringatku sendiri. Pak Marsan semakin keras dan liar  menghunjamkan batang kemaluannya yang terjepit erat liang kemaluanku.  Lalu tiba-tiba tubuhnya mengejat-ngejat dan mulutnya menggeram keras.
“Arghhh… terushhh, Buu… goyangghhhh… arghh…”
Batang kemaluannya yang terjepit erat dalam liang kemaluanku  berdenyut kencang dan akhirnya aku merasakan adanya semprotan hangat di  dalam tubuhku…
Serr.. serr.. serr…
Beberapa kali air mani Pak Marsan menyirami rahimku seolah menjadi  pengobat dahaga liarku. Tubuhnya kian berkejat-kejat liar dan tangannya  semakin keras mencengkeram pantatku hingga aku merasa agak sakit  dibuatnya. Tapi aku tak peduli. Tubuhku pun seolah terkena aliran  listrik yang dahsyat dan pantatku bergerak liar menyongsong hunjaman  batang kemaluan Pak Marsan yang masih menyemprotkan sisa-sisa air  maninya.
“Ouch… akhh.. terushh.. Pak Mar..sanhhh…”
Tanpa malu atau sungkan aku sudah meminta Pak Marsan untuk lebih kuat menggoyang pantatnya untuk menuntaskan dahagaku.
Akhirnya aku benar-benar terkapar. Tulang-belulangku serasa terlepas  semua. Benar-benar lemas aku dibuat oleh Pak Marsan. Kami terdiam  beberapa saat menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami  peroleh.
Batang kemaluan Pak Marsan kurasakan mulai mengkerut dalam jepitan  liang kemaluanku. Perlahan namun pasti akhirnya batang kemaluan itu  terdorong keluar dan terkulai menempel di depan bibir kemaluanku yang  basah oleh cairan kami berdua.
Gila, banyak sekali Pak Marsan mengeluarkan air maninya! Aku tahu itu  karena banyaknya tumpahan air mani yang menetes dari lubang kemaluanku  ke lantai ruang makan.
“Ibu benar-benar hebat… Saya jadi sayang Ibu…” bisik Pak Marsan di telingaku.
Aku hanya diam antara menyesal telah melakukan kesalahan lagi  terhadap suamiku dan terpuaskan hasrat liarku. Ya, aku baru saja  disetubuhi oleh seorang laki-laki yang bukan suamiku… Aku hanya bisa  termenung memikirkan bahwa sejak hubunganku dengan Pak Sitor, betapa  mudahnya kini aku menyerahkan diriku dan melakukan hubungan badan dengan  laki-laki lain.
Aaah…. tiba-tiba aku jadi sangat rindu dengan Pak Sitor… Ia  benar-benar tahu cara memperlakukan dan membimbing seorang wanita.  Sebagai pelampiasannya, kuremas tangan Pak Marsan yang sedang memeluk  tubuh bugilku. Ia tentu tak tahu kalau aku sebetulnya sedang memikirkan  lelaki lain. Pak Marsan dengan mesra lalu menciumi tengkuk dan  telingaku.
Memang sejak Pak Sitor membuka mataku, aku jadi sangat menyukai seks…  Aku pun mulai sadar bahwa untuk memuaskannya, sekarang aku jadi terbuka  untuk melakukannya dengan laki-laki lain selain suamiku… Sangat luar  biasa bahwa aku telah diajari untuk bersikap open-minded oleh seorang  lelaki tua dari pedalaman yang tak berpendidikan seperti Pak Sitor.
“Su.. sudah, Pak… Nanti Mbok Sarmi bangun,” kulepas tangan Pak Marsan yang masih memelukku.
Aku berusaha melepaskan diri dari jepitan tubuh Pak Marsan yang  kekar. Lalu aku meninggalkan Pak Marsan yang masih bugil dan lemas  begitu saja untuk bergegas ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku.  Sekali lagi aku mandi di malam yang dingin itu.
Di bawah pancuran air dingin, aku terdiam memikirkan lagi apa yang  sudah terjadi barusan. Ada beban biologis besar yang rasanya terlepas  dari dalam diriku. Pak Marsan sudah benar-benar mengeluarkannya dengan  cara yang hebat… Di lain pihak, akal sehatku mulai kembali. Aku tahu aku  telah kembali mengkhianati suamiku. Belum lagi memikirkan Pak Marsan  sebagai bawahanku yang kini telah terlibat hubungan intim denganku…  Sejenak aku merasa bingung dengan sikapku sekeluarnya dari kamar mandi  nanti… Setelah termenung beberapa lama di bawah pancuran air, akhirnya  aku memutuskan untuk bersikap setenang mungkin. Semuanya pasti bisa  ditangani….
Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan babydollku yang  sebetulnya agak kotor kena keringat. Baru kusadari betapa kacaunya ruang  makanku! Meja makanku sudah bergeser tak karuan. Sementara kulihat  celana dalam nylonku terlempar ke sudut ruangan dekat kulkas. Pak Marsan  masih membetulkan celana dinasnya.
“Bu, saya.. boleh numpang mandi, Bu…”
“Silakan, Pak.. Handuknya ada di dalam.”
Aku mengambil kain pel dan membersihkan cairan sisa-sisa  persenggamaanku dengan Pak Marsan yang berceceran di lantai. Sementara  itu Pak Marsan mandi di kamar mandi yang baru saja kupakai.
Permainan Kedua
Aku masih mengepel cairan sisa-sisa perjuangan kami tadi yang masih  menempel di lantai. Tanpa kusadari tiba-tiba Pak Marsan yang hanya  mengenakan handuk memelukku lagi dari belakang.
Gila! Orang ini benar-benar bernafsu kuda!! Tubuhku diangkatnya dan hendak dibawa masuk ke kamar mandi.
“Jangan di situ, Pak…” bisikku. “Aku tidak mau bersetubuh di lantai kamar mandi yang dingin! Bisa-bisa masuk angin nanti!”
“Ke kamar tidur depan aja, Pak…”
Aku tahu tak mungkin aku menolak keinginan Pak Marsan! Apalagi aku  juga menyukainya. Jadi aku menurut saja saat ia ingin menyetubuhiku  lagi…
Akhirnya tubuhku dibopong ke kamar tidur depan yang memang khusus  untuk tamu bila ada yang menginap. Kamar tamuku fasilitasnya komplit  sesuai standar rumah berkelas. Kamar tamuku dilengkapi tempat tidur  springbed, dan kamar mandi di dalam, serta AC!
Setelah menutup pintu kamar dengan kakinya, Pak Marsan menurunkan tubuhku di lantai dan bibirnya mulai mencari-cari bibirku.
Aku diam saja saat bibirnya menyedot-nyedot bibirku. Kumisnya yang  tebal terasa geli mengais-ngais hidungku. Aku semakin geli saat lidahnya  berusaha menyusup ke dalam mulutku dan mengais-ngasi didalamnya. Tanpa  sadar lidahku ikut menyambut lidah Pak Marsan yang mendesak-desak dalam  mulutku. Akhirnya kami saling pagut dengan liar dan menggelora.
Aku sudah tak peduli kalau Pak Marsan itu adalah anak buahku. Yang  kutahu adalah nafsuku mulai bangkit lagi. Apalagi tangan Pak Marsan  mulai menyingkap gaun baby dollku ke atas dan melepaskannya melalui  kepalaku hingga aku telanjang bulat di depannya! Gila aku telah  telanjang bulat di depan anak buahku sendiri!! Aku memang belum sempat  memakai celana dalam dan BH setelah mandi tadi. Lalu dengan sekali tarik  Pak Marsan melepas handuk yang melilit di pinggangnya hingga ia juga  telanjang bulat di depanku!
Benar dugaanku! Ternyata batang kemaluannya berwarna hitam dengan  rambut yang sangat lebat. Topi bajanya tampak mengkilat dan mengacung ke  atas dengan gagahnya! Mungkin bila dijajarkan dengan pentungan yang  biasa dibawanya ukurannya sedikit lebih besar!! Makanya tadi kurasakan  betapa sempitnya liang vaginaku menjepit benda itu!! Aku jadi tak merasa  rugi menyerahkan tubuhku padanya…
Aku tidak sempat berlama-lama melihat pemandangan itu, karena sekali  lagi Pak Marsan menyergapku. Mulutnya dengan ganas melumat bibirku  sementara tangannya memeluk erat tubuh telanjangku. Aku merasa kegelian  saat tangannya meremas-remas pantatku yang telanjang. Aku semakin  menggelinjang saat bibirnya mulai turun ke leher dan terus ke dua buah  dadaku yang padat menjadi sasaran mulutnya yang bergairah!
Gila.. Liar dan panas! Itulah yang dapat kugambarkan. Betapa tidak!  Pak Marsan mencumbuku dengan semangat yang begitu bergelora seolah-oleh  harimau lapar menemukan daging! Agak sakit tapi nikmat saat kedua buah  dadaku secara bergantian digigit dan disedot dengan liar oleh mulut Pak  Marsan.
Tanganku pun dibimbing Pak Marsan untuk dipegangkan ke batang kemaluannya yang tegak menjulang.
“Ouch… shhh… enakhhh..”
Mulutku tak sadar berbicara saat lidah Pak Marsan yang panas dengan  liar mempermainkan puting payudaraku yang sudah mengeras. Sambil masih  tetap memeluk tubuhku dan menciumi payudaraku, Pak Marsan duduk di  pinggir tempat tidur.
Dilepaskannya mulutnya dari payudaraku dan kembali diciuminya bibirku  dengan ganasnya. Aku jadi terjongkok didepan tubuh telanjang Pak Marsan  yang sudah duduk di pembaringan, aku jadi berdiri di atas kedua  lututku. Payudaraku yang kencang menjepit batang kemaluan Pak Marsan  yang hitam dan keras itu!
“Hhh…sssshh”
Pak Marsan mendesis saat batang kemaluannya yang besar dan hitam itu  terjepit payudaraku. Dipeluknya tubuhku dengan semakin ketat dan  ditekankannya hingga payudaraku semakin erat menjepit batang  kemaluannya. Aku merasa kegelian saat bulu-bulu kemaluan Pak Marsan yang  sangat lebat menggesek-gesek pangkal payudaraku. Apalagi batang  kemaluannya yang keras terjepit di tengah belahan kedua buah payudaraku,  hal ini menimbulkan sensasi yang lain daripada yang lain.
Aku tidak sempat berlama-lama merasakan sensasi itu saat tangan Pak  Marsan yang kokoh menekan kepalaku ke bawah. Diarahkannya kepalaku ke  arah kemaluannya, sementara tangan satunya memegang batang kemaluannya  yang berdiri gagah di depan wajahku. Aku tahu ia menginginkan aku untuk  mengulum batang kemaluannya.
Tanpa perasaan malu lagi kubuka mulutku dan kujilati batang kemaluan  Pak Marsan yang mengkilat. Gila besar sekali!! Mulutku hampir tidak muat  dimasuki benda itu.
“Arghh..ter..terushhh, Buu…”
Mulut Pak Marsan mengoceh tak karuan saat kumasukkan batang  kemaluannya yang sangat besar itu ke dalam mulutku. Kujilati lubang di  ujung kemaluannya hingga ia mendesis-desis seperti orang kepedasan.  Sementara itu, kedua tangan Pak Marsan terus memegangi kepalaku seolah  takut aku akan menarik kepalaku dari selangkangannya.
Setelah beberapa lama, dengan halus kubelai tangan Pak Marsan dan  kulepaskan cengkeramannya dari kepalaku. Setelah itu, sambil mulut dan  tanganku terus bekerja memanjakan penisnya, mataku senantiasa menatap  mata Pak Marsan. Sesekali aku pun melempar senyum manisku padanya jika  mulutku sedang tak dipenuhi oleh alat vitalnya. Dengan begitu, aku  seolah ingin mengatakan padanya.
“Jangan khawatir. Aku tak akan menjauhkan kepalaku dari  selangkanganmu. Aku akan terus memanjakan penismu yang besar dan indah  ini dengan mulut dan kedua tanganku….”
Pak Marsan pun jadi lebih santai dan menikmati pekerjaanku yang kulakukan dengan penuh ketulusan.
Tidak puas bermain-main dengan batang kemaluannya saja, mulutku lalu  bergeser ke bawah menyusuri guratan urat yang memanjang dari ujung  kepala kemaluan Pak Marsan hingga ke pangkalnya. Pak Marsan semakin  blingsatan menerima layananku! Tubuhnya semakin liar bergerak saat  bibirku menyedot kedua biji telor Pak Marsan secara bergantian.
“Ib.. Ibu.. heb..bathh… ohhh… sssshh.. akhhh…”
Aku semakin nakal, bibirku tidak hanya menyedot kantung zakarnya  melainkan lidahku sesekali mengais-ngais anus Pak Marsan yang ditumbuhi  rambut. Pak Marsan semakin membuka kakinya lebar-lebar agar aku lebih  leluasa memuaskannya.
Aku tahu aku telah bertindak sangat gila. Aku yakin telah mengalahkan  pelacur yang manapun saat memberikan layanan kepada pelanggannya.  Seorang pelacur bahkan dibayar untuk melakukan itu semua. Sedangkan aku  memberikannya secara gratis kepada Pak Marsan! Aku yakin Pak Marsan pun  belum pernah mendapatkan layanan istimewa ini dari wanita manapun,  termasuk dari istrinya… Pastilah ini karena rasa horny yang telah  menyelimuti sekujur tubuhku!
Beberapa saat kemudian tubuhku ditarik Pak Marsan dan dilemparkannya ke tempat tidur.
Aku masih tengkurap saat tubuh telanjangku ditindih tubuh telanjang  Pak Marsan. Kakiku dibentangkannya lebar-lebar dengan kakinya. Otomatis  batang kemaluannya kini terjepit antara perutnya sendiri dan pantatku.  Ditekannya pantatnya hingga batang kemaluannya semakin ketat menempel di  belahan pantatku.
Tubuhku menggelinjang hebat saat lidahnya kembali menyusuri tulang  belakangku dari leher terus turun ke punggung dan turun lagi ke arah  pantatku.
Tanpa rasa jijik sedikitpun, lidah Pak Marsan kini mempermainkan  lubang anusku. Aku merasakan kegelian yang amat sangat tetapi aku tidak  dapat bergerak karena pantatku ditekannya kuat-kuat. Aku hanya pasrah  dan menikmati gairahnya…
Aku tahu Pak Marsan melakukan itu karena aku pun telah melakukan hal  yang sama padanya barusan. Aku sama sekali tak mengharapkan balas budi  seperti itu, tapi tentu saja aku sangat berterima kasih pada Pak Marsan  karena aku pun kini dapat menikmatinya.
Seluruh tubuhku dijilatinya tanpa terlewatkan seincipun. Dari lubang  anus, lidahnya menjalar ke bawah pahaku terus ke lutut dan akhirnya  seluruh ujung jariku dikulumnya. Benar-benar gila!! Rasa geli dan nikmat  berbaur menjadi satu.
Setelah puas melumat seluruh jari kakiku, Pak Marsan membalikkan  tubuh telanjangku hingga kini aku terlentang di tempat tidur. Kakiku  dibentangkannya lebar-lebar dan ia sekali lagi menindihku. Kali ini  posisi kami saling berhadap-hadapan dengan tubuhku ditindih tubuh  kekarnya.
Lidahnya kembali bergerak liar menjilati tubuhku. Sasarannya kali ini  adalah daerah sensitif di belakang leherku. Aku menggelinjang kegelian.  Bibir Pak Marsan dengan ganasnya menyedot-nyedot daerah itu.
“Jang..jang..an dimerah ya, Pak…” erangku memohon padanya.
Tentu saja aku tidak mau disedot sampai merah soalnya besok pasti orang sekantor pada ribut.
“Tidak.. Bu…. saya cuma gemasss!!” desis Pak Marsan sambil tetap menjilati bagian belakang telingaku.
“Tapi kalo di sini boleh kan?” katanya nakal sambil tiba-tiba menyedot payudaraku.
“Aaaauuwwww…..” jeritku terkejut karena gerakannya yang tiba-tiba.
Rupanya Pak Marsan dengan sengaja meninggalkan cupangan merah yang  banyak di seputar kedua payudaraku. Tingkah lakunya seperti ingin  menandai bahwa tubuhku sekarang telah jadi miliknya juga… Aku kegelian  dan semakin bertambah horny karena aksinya itu. Aku hanya bisa berharap  agar semua cupang itu telah hilang saat Bang Ikhsan pulang nanti.
Sementara itu tangannya terus bergerak liar meremas payudaraku  bergantian. Aku semakin mendesis liar saat mulut Pak Marsan dengan liar  dan gemas menyedot payudaraku bergantian. Kedua puting payudaraku  dipermainkan oleh lidahnya yang panas sementara tangannya bergerak turun  ke bawah dan mulai bermain-main di selangkanganku yang sudah basah.  Liang vaginaku berdenyut-denyut karena terangsang hebat, saat jari-jari  tangan Pak Marsan menguak labia mayoraku dan menggesek-gesekkan jarinya  di dinding lubang kemaluanku yang sudah semakin licin.
Sensasi hebat kembali menderaku saat dengan liar mulut Pak Marsan  menggigit-gigit perut bagian bawahku yang masih rata. Perutku memang  rata karena aku rajin berlatih kebugaran selain itu aku belum mempunyai  anak hingga tubuhku masih sempurna.
“Akhh.. Pak…ouchh..” Aku mendesis saat bibir Pak Marsan menelusuri gundukan bukit kemaluanku.
Lidahnya menyapu-nyapu celah di selangkanganku dari atas ke bawah  hingga dekat lubang anusku. Lidahnya terus bergerak liar seolah tak  ingin melewatkan apa yang ada di sana.
Tubuhku tersentak saat lidah Pak Marsan yang panas menyusup ke dalam  liang kemaluanku dan menyapu-nyapu dinding kemaluanku. Kakiku  dibentangkannya lebar-lebar hingga wajah Pak Marsan bebas menempel  gundukan kemaluanku. Rasa geli yang tak terhingga menderaku. Apalagi  kumisnya yang tebal kadang ikut menggesek dinding lubang kemaluanku  membuat aku semakin kelabakan.
Tubuhku serasa kejang karena kegelian saat wajah Pak Marsan dengan  giat menggesek-gesek bukit kemaluanku yang terbuka lebar. Perutku serasa  kaku dan mataku terbeliak lebar. Kugigit bibirku sendiri karena menahan  nikmat yang amat sangat.
“Akhhh Pakk…Marsannhh…ak..ku..ohhhh…”
Aku tak kuasa meneruskan kata kataku karena aku sudah keburu orgasme  saat lidah Pak Marsan dengan liar menggesek-gesek kelentitku. Tubuhku  seolah terhempas dalam nikmat. Aku tak bisa bergerak karena kedua pahaku  ditindih lengan Pak Marsan yang kokoh.
Tubuhku masih terasa lemas dan seolah tak bertulang saat kedua kakiku  ditarik Pak Marsan hingga pantatku berada di tepi tempat tidur dan  kedua kakiku menjuntai ke lantai. Pak Marsan lalu menguakkan kedua  kakiku dan memposisikan dirinya di tengah-tengahnya.
Sejenak ia tersenyum menatapku yang masih terengah-engah tak berdaya  di bawahnya. Sebuah senyum kemenangan karena ia telah berhasil  mengalahkanku satu ronde! Aku pun tentu saja sangat senang diperlakukan  seperti itu oleh seorang laki-laki. Maka aku pasrah saja membiarkannya  berbuat apa pun yang disukainya untuk melampiaskan nafsunya pada diriku  sekarang.
Kemudian ia mencucukkan batang kemaluannya yang sudah sangat keras ke  bibir kemaluanku yang sudah sangat basah karena cairanku sendiri.
Aku menahan napas saat Pak Marsan mendorong pantatnya hingga ujung  kemaluannya mulai menerobos masuk ke dalam jepitan liang kemaluanku.  Seinci demi seinci, batang kemaluan Pak Marsan mulai melesak ke dalam  jepitan liang kemaluanku. Aku menggoyangkan pantatku untuk membantu  memudahkan penetrasinya.
Rupanya Pak Marsan sangat berpengalaman dalam hal seks. Hal ini  terbukti bahwa ia tidak terburu-buru melesakkan seluruh batang  kemaluannya tetapi dilakukannya secara bertahap dengan diselingi  gesekan-gesekan kecil ditarik sedikit lalu didorong maju lagi hingga  tanpa terasa seluruh batang kemaluannya sudah terbenam seluruhnya ke  dalam liang kemaluanku.
Kami terdiam beberapa saat untuk menikmati kebersamaan menyatunya tubuh kami.
Kami bisa melihat saat-saat yang indah itu secara utuh melalui cermin  besar yang ada di kamar tidur tamu. Tiba-tiba aku melihat bahwa kami  adalah pasangan yang sangat serasi. Terlihat tubuh Pak Marsan yang bugil  memiliki otot-otot yang keras dengan kulit yang berwarna gelap. Tubuhku  yang bugil pun terlihat bagus dengan kulit yang putih dan otot-otot  yang kencang karena sering berolah raga secara teratur. Kami betul-betul  terlihat sangat serasi. Karena itu, kupikir Pak Marsan benar-benar  berhak atas tubuhku dan demikian pula sebaliknya.
Mungkin hanya status sosial dan status pernikahan kami masing-masing  yang tak memungkinkan kami untuk menjadi sepasang suami istri. Tapi  sepanjang kami dapat menikmati persetubuhan ini dengan leluasa, rasanya  tak ada masalah.
Bibir Pak Marsan memagut bibirku dan akupun membalas tak kalah  liarnya. Aku merasakan betapa batang kemaluan Pak Marsan yang terjepit  dalam liang kemaluanku mengedut-ngedut.
Kami saling berpandangan dan tersenyum mesra. Tubuhku tersentak saat  tiba-tiba Pak Marsan menarik batang kemaluannya dari jepitan liang  kemaluanku.
“Akhh..” aku menjerit tertahan. Rupanya Pak Marsan nakal juga!!
“Enak, Bu..?” bisiknya.
“Kamu nakal Pak Marsanhhh…ohhh…”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Pak Marsan mendorong kembali  pantatnya kuat-kuat hingga seolah-olah ujung kemaluannya menumbuk  dinding rahimku di dalam sana.
Aku tidak diberinya kesempatan untuk bicara. Bibirku kembali  dilumatnya sementara kemaluanku digenjot lagi dengan tusukan-tusukan  nikmat dari batang kemaluannya yang besar, sangat besar untuk ukuran  orang Indonesia.
Setelah puas melumat bibirku, kini giliran payudaraku yang dijadikan  sasaran lumatan bibir Pak Marsan. Kedua puting payudaraku kembali  dijadikan bulan-bulanan lidah dan mulut Pak Marsan. Pantas tubuhnya  kekar begini habis neteknya sangat bernafsu sampai-sampai mengalahkan  anak kecil!!
Tubuhku mulai mengejang… Gawat, aku hampir orgasme lagi. Kulihat Pak  Marsan masih belum apa-apa!! Ini tidak boleh dibiarkan… pikirku. Aku  paling suka kalau posisi di atas sehingga saat orgasme bisa full  sensation. Lalu tanpa rasa malu lagi kubisikkan sesuatu di telinga Pak  Marsan.
“Giliran aku di atas, Sayang….”
Gila…! Aku sudah mulai sayang-sayangan dengan satpam di kantorku!
Pak Marsan meluluskan permintaanku dan menghentikan  tusukan-tusukannya. Lalu tanpa melepaskan batang kemaluannya dari  jepitan liang kemaluanku, ia menggulingkan tubuhnya ke samping. Kini aku  sudah berada di atas tubuhnya.
Aku sedikit berjongkok dengan kedua kakiku di sisi pinggulnya.  Kemudian perlahan-lahan aku mulai menggoyangkan pantatku. Mula-mula  gerakanku maju mundur lalu berputar seperti layaknya bermain hula hop.  Kulihat mata Pak Marsan mulai membeliak saat batang kemaluannya yang  terjepit dalam liang kemaluanku kuputar dan kugoyang. Pantat Pak Marsan  pun ikut bergoyang mengikuti iramaku.
“Shhh… oughh… terushh.. Buuu… arghhhh…!”
Pak Marsan mulai menggeram. Tangannya yang kokoh mencengkeram kedua pantatku dan ikut membantu menggoyangnya.
Gerakan kami semakin liar. Napas kami pun semakin menderu seolah  menyaingi gemuruh hujan yang masih turun di luar sana. Cengkeraman Pak  Marsan semakin kuat menekan pantatku hingga aku terduduk di atas  kemaluannya. Kelentitku semakin kuat tergesek batang kemaluannya hingga  aku tak dapat menahan diri lagi.
Tubuhku bergerak semakin liar dan kepalaku tersentak ke belakang saat  puncak orgasmeku untuk yang kesekian kalinya tercapai. Tubuhku  mengejat-ngejat di atas perut Pak Marsan. Ada semacam arus listrik yang  menjalar dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun.
“Akhh… ohhh… ter..rushhh, Pakkkkk… ohhh…”
Aku menjerit melepas orgasmeku meminta Pak Marsan untuk semakin kuat  memutar pantatnya. Akhirnya aku benar-benar ambruk di atas perut Pak  Marsan. Tulang belulangku seperti dilolosi. Tubuhku lemas tak bertenaga.  Napasku ngos-ngosan seperti habis mengangkat beban yang begitu berat.
Aku hanya pasrah saat Pak Marsan yang belum orgasme mengangkat  tubuhku dan membalikkannya. Ia mengganjal perutku dengan beberapa bantal  hingga aku seperti tengkurap di atas bantal. Kemudian Pak Marsan  menempatkan diri di belakangku. Dicucukkannya batang kemaluannya di  belahan kemaluanku dari belakang. Rupanya ia paling menyukai doggy  style.
Setelah tepat sasaran, Pak Marsan mulai menekan pantatnya hingga  batang kemaluannya amblas tertelan lubang kemaluanku. Ia diam beberapa  saat untuk menikmati sensasi indahnya jepitan liang kemaluanku. Dengan  bertumpu pada kedua lututnya, Pak Marsan mulai menggenjot lubang  kemaluanku dari arah belakang.
Kembali terdengar suara tepukan beradunya pantatku dengan tulang  kemaluan Pak Marsan yang semakin lama semakin cepat mengayunkan  pantatnya maju mundur. Kurang puas dengan jepitan liang kemaluanku,  kedua pahaku yang terbuka dikatupkannya hingga kedua kakiku berada  diantara kedua paha Pak Marsan.
Kembali ia mengayunkan pantatnya maju mundur. Aku merasakan betapa  jepitan liang kemaluanku kian erat menjepit kemaluannya. Aku bermaksud  menggerakkan pantatku mengikuti gerakannya, tetapi tekanan tangannya  terlalu kuat untuk kulawan hingga aku pasrah saja.
Aku benar-benar dibawah penguasaannya secara total. Tempat tidurku  ikut bergoyang seiring dengan ayunan batang kemaluan Pak Marsan yang  menghunjam ke dalam liang kemaluanku.
Nafsuku mulai terbangkit lagi. Perlahan-lahan gairahku meningkat saat batang kemaluan Pak Marsan menggesek-gesek kelentitku.
“Ugh..ugh..uhhh…”
Terdengar suara Pak Marsan mendengus saat memacu menggerakkan pantatnya menghunjamkan kemaluannya.
“Terushhh… terushh, Pak… terushhh… ahhh…”
Kembali tubuhku bergetar melepas orgasmeku.
Kepalaku terdongak ke belakang, sementara Pak Marsan tetap  menggerakkan kemaluannya dalam jepitian liang kemaluanku. Kini tubuhnya  sepenuhnya menindihku. Kepalaku yang terdongak ke belakang didekapnya  dan dilumatnya bibirku sambil tetap menggoyangkan pantatnya maju mundur.  Aku yang sedikit terbebas dari tekanannya ikut memutar pantatku untuk  meraih kenikmatan lebih banyak.
Kami terus bergerak sambil saling berpagutan bibir dan saling  mendorong lidah kami. Entah sudah berapa kali aku mencapai orgasme  selama bersetubuh dengan Pak Marsan ini. Hebatnya ia baru sekali  mengalami ejakulasi saat persetubuhan pertama tadi.
Tubuhku terasa loyo sekali. Aku sudah tidak mampu bergerak lagi. Pak  Marsan melepaskan batang kemaluannya dari jepitan kemaluanku dan  mengangkat tubuhku hingga posisi terlentang.
Aku sudah pasrah. Dibentangkannya kedua pahaku lebar-lebar lalu kembali Pak Marsan menindihku.
Lubang kemaluanku yang sudah sangat licin disekanya dengan handuk  kecil yang ada di tempat tidur. Kemudian ia kembali menusukkan batang  kemaluannya ke bibir kemaluanku. Perlahan namun pasti, seperti gayanya  tadi dikocoknya batang kemaluannya hingga sedikit demi sedikit kembali  terbenam dalam kehangatan liang kemaluanku. Tubuh kami yang sudah basah  oleh peluh kembali bergumul.
“Pak Marsan..hebatthhh..” bisikku.
“Biasa, Bu.. kalau ronde kedua saya suka susah keluarnya…” demikian kilahnya.
Namun kami tidak dapat berbicara lagi karena lagi-lagi bibir Pak  Marsan sudah melumat bibirku dengan ganasnya. Lidah kami saling  dorong-mendorong sementara pantat Pak Marsan kembali menggenjotku  sekuat-kuatnya hingga tubuhku timbul tenggelam dalam busa springbed yang  kami gunakan.
Kulihat tonjolan urat di kening Pak Marsan semakin jelas menunjukkan  napsunya sudah mulai meningkat. Napas Pak Marsan semakin mendengus  seperti kerbau gila. Aku yang sudah lemas tak mampu lagi mengimbangi  gerakan Pak Marsan.
“Ugh… ughh… uhhhh…”
Dengus napasnya semakin bergemuruh terdengar di telingaku. Bibirnya  semakin ketat melumat bibirku. Lalu kedua tangan Pak Marsan menopang  pantatku dan menggenjot lubang kemaluanku dengan tusukan-tusukan batang  kemaluannya. Aku tahu sebentar lagi ia akan sampai. Aku pun menggerakkan  pantatku dengan sisa-sisa tenagaku. Benar saja, tiba-tiba ia menggigit  bibirku dan menghunjamkan batang kemaluannya dalam-dalam ke dalam liang  kemaluanku.
Crrt… crrtt.. cratt… crattt.. crrat… Ada lima kali mungkin ia  menyemprotkan spermanya ke dalam rahimku. Ia masih bergerak beberapa  saat seperti berkelojotan, lalu ambruk di atas perutku. Aku yang sudah  kehabisan tenaga tak mampu bergerak lagi.
Kami tetap berpelukan menuntaskan rasa nikmat yang baru kami raih.  Batang kemaluan Pak Marsan yang masih kencang tetap menancap ke dalam  liang kemaluanku. Keringat kami melebur menjadi satu. Akhirnya kami  tertidur sambil tetap berpelukan dengan batang kemaluan Pak Marsan tetap  tertancap dalam liang kemaluanku.
Paginya kami sempat bersetubuh lagi sebelum Pak Marsan pulang kembali ke kantor.
Kami sepakat bahwa kami akan berlaku wajar seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara kami.
Mulai Saling Merindu
Sudah hampir dua bulan sejak persetubuhanku dengan Pak Marsan kami  tidak melakukannya lagi. Hal ini disebabkan karena suamiku selalu ada di  rumah. Di samping itu, aku juga sempat dinas luar sehingga tidak ada  kesempatan bertemu secara bebas. Lama-lama aku merasa kangen juga dengan  tongkat Pak Marsan. Aku sudah merindukan keliarannya, bau keringatnya  dan juga kejantanannya.
Akhirnya kesempatan yang kutunggu-tunggu datang juga. Itulah yang  namanya rezeki, tidak perlu dikejar dan tidak dapat pula ditolak. Kalau  sudah waktunya pasti akan datang dengan sendirinya.
Hari itu hari Sabtu jadi kantor libur. Kebetulan pula suamiku sedang seminar di Pekanbaru dan
pulang Minggu sore. Karena suntuk di rumah, aku mencoba datang ke kantor. Siapa tahu ketemu
Pak Marsan.
Sesampai di kantor, ternyata dia tidak ada. Selidik punya selidik  ternyata Pak Marsan sedang mengambil cuti tahunan, jadi ia libur selama  satu minggu.
Terdorong kerinduanku, aku memberanikan diri mendatangi rumahnya. Toh  aku sudah biasa datang ke sana dan sudah kenal baik dengan istrinya.  Setelah membeli biskuit dan gula serta susu buat bayinya, aku meluncur  ke rumahnya yang kalau kutempuh dari kantor kira-kira memakan waktu 45  menit. Lumayan jauh.
Suasana tampak sepi saat mobilku memasuki halaman rumah Pak Marsan  yang sudah sangat kukenal. Aku mengenal seluk beluk rumah itu, seluruh  penghuninya dan tetangganya karena aku memang sering datang ke situ.
Setelah memarkir mobilku di samping rumahnya, aku mencoba memanggil-manggil si penghuni rumah.
“Yu…yu Sarni… ini aku Reni…”
Berulang-ulang kupanggil nama istri Pak Marsan, namun tidak ada jawaban. Rumah tidak terkunci namun tidak ada orang.
Aku lalu memutuskan untuk memutar ke belakang rumah siapa tahu mereka  berada di kebun belakang rumah. Tetapi tidak ada orang satu pun di  kebun belakang rumah.
Sayup-sayup kudengar suara berkecipak air di kamar mandi yang  terletak di sudut belakang rumah Pak Marsan. Jangan berpikiran kalau  kamar mandi di perkampungan sama seperti di kota-kota. Kamar mandi milik  Pak Marsan hanya dibatasi anyaman bambu tanpa atap, sehingga bila hujan  selalu kehujanan dan kalau panas selalu kepanasan. Untungnya lokasinya  berada di bawah pohon rambutan sehingga agak terlindung dari panas.
Kudengar suara parau mendendangkan lagu dangdut yang tidak begitu  kukenal. Aku memang tidak suka sama musik dangdut jadi kurang begitu  kenal dengan lagu yang dinyanyikan dengan suara fals itu. Itu suara Pak  Marsan yang sangat kukenal di telingaku.
Dengan rasa iseng kuintip Pak Marsan yang sedang mandi lewat  celah-celah anyaman bambu yang agak longgar. Kulihat tubuh Pak Marsan  yang kekar nampak mengkilat terkena busa sabun. Batang kemaluannya yang  besar tampak menggantung dipenuhi busa sabun dan kelihatan lucu, seperti  badut. Batang kemaluannya bergoyang-goyang seperti jam dinding kuno  seiring dengan gerakan Pak Marsan yang menyabuni tubuhnya.
Pak Marsan yang hanya berbalut handuk tampak kaget melihatku sudah  duduk di bangku panjang yang terletak di beranda belakang rumahnya.
“Lho… Bu Reni… Sudah lama datangnya?”
Ia melongo seolah tak percaya dengan kedatanganku.
“Enggak, baru saja sampai kok. Orang-orang pada kemana, kok sepi?”
“Em.. anu, Bu Sarni sedang ke Jawa menengok ibunya. Katanya ibunya kangen sama cucunya.”
“Lho kok enggak bareng sama Pak Marsan?”
“Enggak, soalnya biar irit ongkosnya, Bu. Silahkan masuk, Bu…”
Aku pun masuk ke rumah melalui dapur dengan diiringi Pak Marsan.  Begitu pintu ditutup, Pak Marsan langsung memeluk tubuhku dari belakang.  Diciuminya tengkukku dengan ganas seperti biasanya.
“Saya.. kangen sama Bu Reni…” bisiknya di telingaku.
Aku sendiri juga kangen dengan Pak Marsan. Kangen dengan cumbuannya  dan kangen dengan tongkatnya, tetapi aku tetap berpura-pura menjaga  wibawaku.
“Ahh… Pak Marsan bisa saja… Kan sudah ada Yu Sarni…”
“Memang sih… tapi benar saya kangen sama Ibu…”
Tangannya yang terampil segera melepas blazerku dan melemparkannya ke  kursi. Mulutnya tak henti-hentinya menciumi tengkukku hingga membuatku  menggerinjal karena geli. Ia tahu benar kelemahanku. Dijilatinya daerah  belakang telingaku lalu tangannya melepas kancing baju atasanku satu  demi satu dan dilemparkannya ke kursi tempat ia melempar blazerku tadi.
Begitu punggungku terbuka, dengan serta merta dicumbunya punggungku  dengan jilatan-jilatan dan gigitan-gigitannya yang membuatku kangen.  Kemudian dengan mulutnya digigitnya kaitan bra ku hingga terlepas.  Tangannya yang kekar menyusup ke dalam kutangku dan meremas isinya yang  penuh. Jari-jarinya dengan lincah memainkan kedua puting payudaraku.
Setelah puas, dilepasnya kutangku dan dilemparkannya jadi satu dengan  blazerku tadi. Kini aku hanya mengenakan celana panjang sementara tubuh  atasku sudah terbuka sama sekali.
Jilatan lidah Pak Marsan terus merangsek seluruh punggungku dengan  ganas. Seolah-olah orang yang sedang kelaparan mendapatkan makanan  lezat. Kumisnya yang tebal terasa geli menggesek-gesek kulit punggungku.
“Jangan di sini, Pak Marsan…hhh…”
Aku yang sudah mulai terangsang masih mampu menahan diri untuk tidak disetubuhi di ruang tengah yang agak terbuka.
Tanpa banyak bicara didorongnya tubuhku masuk ke kamar satu-satunya  yang ada di rumah itu. Di situ tidak ada tempat tidur seperti di  rumahku. Yang ada hanya kasur yang sudah agak kumal yang terhampar di  lantai yang dilapisi karpet plastik serta lemari pakaian plastik di  dekatnya. Tubuhku didorong hingga punggungku memepet tembok tanpa  plester di kamarnya. Kali ini bibirku langsung disosornya dengan ganas.  Dilumatnya bibirku dan disisipkannya lidahnya masuk ke dalam mulutku  mencari-cari lidahku.
Aku semakin gelagapan mendapatkan serangan-serangannya. Apalagi kedua  payudaraku diremas-remas dengan ganas oleh tangannya yang kasar.  Bibirnya mulai merayap turun dari bibirku ke dagu lalu leherku  dijilat-jilatnya dengan ganas. Aku semakin menggelinjang. Napasnya yang  mendengus-dengus menerpa kulit leherku membuat seluruh bulu romaku  berdiri. Dari leher bibirnya terus turun ke bawah dan berhenti di  dadaku. Sekarang giliran payudaraku yang dijadikan bulan-bulanan serbuan  bibirnya. Kumisnya terasa geli menyentuh dan mengilik-ngilik  payudaraku. Aku merasa semakin terangsang dengan ulahnya itu.
Dengan masih berdiri memepet tembok, celanaku dilucuti oleh tangan  terampil Pak Marsan. Aku membantunya melepas celana panjangku dengan  mengangkat kaki dan menendang jauh-jauh. Tanganku pun tak tinggal diam,  kutarik handuk yang melilit di pinggang Pak Marsan hingga ia telanjang  bulat didepanku. Rupanya ia tidak mengenakan celana dalam!! Batang  kemaluannya yang panjang, besar dan berwarna hitam gagah nampak tegak  berdiri. Benar-benar jantan kelihatannya.
Tanpa disuruh, tanganku pun segera menggenggam batang kemaluannya dan meremas serta mengurutnya.
“Oughhh…terushh, Bu…”
Pak Marsan mendengus keenakan saat kuremas-remas batang kemaluannya yang membuat aku tergila-gila.
“Akhhh…ouchh….”
Kini giliranku yang mendesis kenikmatan saat kurasakan tangan Pak  Marsan menyusup ke dalam celana dalamku dan meremas-remas gundukan  kemaluanku yang sudah basah. Tidak Cuma itu… jarinya mengorek-ngorek ke  dalam celah vaginaku dan mempermainkan tonjolan kecil di celah vaginaku.  Aku semakin liar bergoyang saat jari-jari Pak Marsan semakin masuk ke  dalam liang vaginaku. Rasanya liang vaginaku semakin basah oleh cairan  akibat rangsangannya itu.
Aku agak kecewa saat tiba-tiba ia menghentikan rangsangan di  selangkanganku. Tangannya kini bergerak ke belakang dan meremas buah  pantatku. Sementara itu mulutnya terus turun ke arah perutku dan  lidahnya mengosek-ngosek pusarku membuat aku kembali terangsang hebat.  Tiba-tiba Pak Marsan melepaskan tanganku dari batang kemaluannya dan  bersimpuh di depanku yang masih berdiri. Serta-merta digigitnya celana  dalamku dan ditarik dengan giginya ke bawah hingga teronggok di  pergelangan kakiku. Aku membantunya melepaskan satu-satunya penutup  tubuhku dan menendangnya jauh-jauh.
Kini mulut Pak Marsan sibuk menggigit dan menjilat daerah  selangkanganku. Dikuakkannya kakiku lebar-lebar hingga ia lebih leluasa  menggarap selangkanganku. Dengan bersimpuh Pak Marsan mulai menjilati  labia mayoraku sementara tangannya meremas pantatku dan menekannya ke  depan hingga wajahnya lebih ketat menyuruk ke bukit kemaluanku.
“Akhh. Terushhh..ohhh..”
Aku hanya bisa merintih sat lidah Pak Marsan menyeruak ke dalam liang  kemaluanku yang sudah sangat licin. Ditekankannya wajahnya ke  selangkanganku hingga lidahnya semakin dalam menyeruak ke dalam liang  kemaluanku. Aku semakin menggelinjang saat lidah Pak Marsan dengan  nakalnya mempermainkan kelentitku. Sesekali ia menyedot kelentitku dan  mengosek-kosek kelentitku dengan lidahnya. Gila… tubuhku mulai mengejang  dan perutku seakan-akan diaduk-aduk karena harus menahan kenikmatan.
Pak Marsan sudah tidak peduli dengan keadaanku yang kepayahan menahan  nikmat. Lidahnya bahkan semakin liar mempermainkan tonjolan di ujung  atas liang vaginaku. Akhirnya aku tak mampu menahan gempuran badai  birahi yang melandaku. Tubuhku berkelojotan. Mataku membeliak menahan  nikmat yang amat sangat. Tubuhku melayang…
“Akhhh….terr..ushhhh…”
Tubuhku terus berkejat-kejat sampai titik puncaknya dan kurasakan ada  sesuatu yang meledak di dalam sana. Tubuhku melemas seolah tak  bertenaga. Aku hanya bersandar dengan lemas ke dinding kamar tanpa mampu  bergerak lagi.
Pak Marsan lalu berdiri di hadapanku.
“Bagaimana, Bu..?” bisiknya di telingaku.
“Ohh..luar biasa..Pak Marsan hebbb …bathh,” desahku.
Masih dengan posisi berdiri dengan aku menyandar dinding, Pak Marsan  menyergap bibirku lagi. Pak Marsan menempatkan dirinya di antara kedua  pahaku yang terbuka lalu dicucukkannya batang kemaluannya ke lubang  kemaluanku yang sudah sangat basah. Dengan tangannya Pak Marsan  menggosok-gosokkan kepala kemaluannya ke lubang kemaluanku. Tubuhku  kembali bergetar. Aku mulai terangsang lagi, saat kepala kemaluan Pak  Marsan menggesek-gesek tonjolan kecil di lubang kemaluanku.
Dengan perlahan Pak Marsan mendorong pantatnya ke depan hingga batang kemaluannya menyeruak ke dalam liang kemaluanku.
“Hmmhh…”
Hampir bersamaan kami mendengus saat batang kemaluan Pak Marsan  menerobos liang kemaluanku dan menggesek dinding liang vaginaku yang  sudah sangat licin. Lidah kami saling bertaut, saling mendorong dan  saling melumat. Tubuhku tersentak-sentak mengikuti hentakan dorongan  pantat Pak Marsan. Pak Marsan terus menekan dan mendorong pantatnya  menghunjamkan batang kemaluannya ke dalam liang kemaluanku dengan posisi  berdiri.
Entah karena kurang leluasa atau kurang nyaman, tiba-tiba Pak Marsan  mencabut batang kemaluannya yang terjepit liang kemaluanku. Ia  membalikkan tubuhku menghadap dinding dan ia sekarang berdiri di  belakangku. Tubuhku sedikit ditunggingkan dengan kedua tangan menopang  tembok. Dibentangkannya kedua kakiku lebar-lebar, lalu ditusukkannya  batang kemaluannya ke lubang kemaluanku dari belakang. Kali ini  gerakanku dan gerakannya agak lebih leluasa.
Kedua tangan Pak Marsan meremas dan memegang erat pantatku sambil  mengayunkan pantatnya maju mundur. Batang kemaluannya semakin lancar  keluar masuk liang kemaluanku yang sudah sangat licin.
“Ughh..ughhh…” Kudengar Pak Marsan mendengus-dengus seperti kereta sedang menanjak.
Aku pun mengimbangi gerakan ayunan pantat Pak Marsan dengan sedikit memutar pantatku dengan gaya ngebor.
Napas Pak Marsan semakin menderu saat kulakukan gaya ngeborku. Batang  kemaluannya seperti kupilin dalam jepitan liang kemaluanku. Nafsuku  yang sudah terbangkit semakin mengelora. Desakan-desakan kuat di dalam  tubuh bagian bawahku semakin menekan. Kugoyang pantatku semakin liar  menyongsong sodokan batang kemaluan Pak Marsan.
“Terusss.. Buu…terusshhh” Pak Marsan mendesis-desis dan tangannya  semakin kuat mencengkeram pantatku membantuku bergoyang semakin kencang.
“Arghh..arghhh.. akhhh.. say..saya… keluarhhh, Buuu…”
Kudengar Pak Marsan menggeram saat batang kemaluannya mengedut-ngedut  dalam jepitan liang kemaluanku. Aku pun merasa sudah di ambang puncak  kenikmatanku. Kugoyangkan pantatku semakin liar dan akhirnya kuayunkan  pantatku ke belakang menyongsong tusukan Pak Marsan hingga batang  kemaluannya melesak sedalam-dalamnya seolah-olah menumbuk mulut rahimku.  Aku seperti melayang begitu puncak kenikmatan itu datang mengaliri  sekujur tubuhku. Baru saja aku menikmati orgasmeku, kurasakan ada  semburan cairan hangat dari batang kemaluan Pak Marsan di dalam liang  vaginaku.
Crat…crrtt..crutt…crttt..crott..!!
Banyak sekali cairan sperma Pak Marsan yang tersembur menyiram rahimku, hingga sebagian menetes ke karpet kamar tidurnya.
Kami tetap terdiam sambil mengatur napas. Tangan Pak Marsan memeluk  dadaku dan batang kemaluannya masih mengedut-ngedut menyemburkan  sisa-sisa air mani ke dalam liang kemaluanku. Akhirnya kami berdua  menggelosor ambruk ke kasur kumal yang biasa ditiduri Pak Marsan dan  istrinya.
Kami berbaring dengan Pak Marsan masih memeluk tubuhku dari belakang.  Batang kemaluan Pak Marsan yang sudah terkulai menempel di belahan  pantatku. Kurasakan ada semacam cairan pekat yang menempel ke pantatku  dari batang kemaluan Pak Marsan. Aku tak tahu dengan kain apa Pak Marsan  menyeka lubang kemaluanku untuk membersihkan cairan sperma yang menetes  dari labia mayoraku. Aku terlalu lemas untuk memperhatikan. Akhirnya  aku tertidur kelelahan setelah digempur habis-habisan oleh Pak Marsan.
Aku tidak tahu berapa lama aku telah tertidur di kasur Pak Marsan.  Aku tersadar saat ada sesuatu benda lunak yang memukul-mukul bibirku.  Saat kulirik aku terkejut ternyata benda yang memukul-mukul bibirku tadi  adalah batang kemaluan Pak Marsan yang sudah setengah ereksi.
Ternyata ia sedang berjongkok dengan mengangkangi mukaku. Tangannya  memegangi batang kemaluannya sambil dipukul-pukulkannya pelan-pelan ke  bibirku. Begitu melihat aku terbangun, serta-merta Pak Marsan memegang  bagian belakang kepalaku dan mencoba memasukkan batang kemaluannya ke  dalam mulutku. Aku menjadi gelagapan karena bangun-bangun sudah disodori  batang kemaluan laki-laki!! Gila. Aku pun tak mempunyai pilihan lain  kecuali menyambutnya dengan mulut terbuka…
Kurasakan ada sedikit asin-asin yang agak aneh saat bibirku mulai  mengulum batang kemaluan Pak Marsan yang disodorkan padaku. Belakangan  aku baru tahu bahwa Pak Marsan langsung kencing ke belakang begitu  bangun. Sekembalinya ke kamar, ia langsung terangsang melihat diriku  yang masih tertidur dalam keadaan bugil.
Demikianlah selanjutnya, ia membangunkanku dengan memukul-mukulkan  penisnya ke mukaku supaya aku bisa segera memuaskan nafsunya kembali.  Walaupun sedikit gelagapan, tentu saja aku melakukannya dengan setulus  hati. Sedikit demi sedikit batang kemaluan itu semakin mengeras dalam  kulumanku.
Beberapa saat kemudian Pak Marsan membalikkan posisinya. Batang  kemaluannya masih kukulum dengan liar kemudian ia menundukkan tubuhnya  dan wajahnya kini menghadap selangkanganku.
Dibentangkannya kedua pahaku kemudian lidahnya mulai bekerja menjilat  dan melumat gundukan kemaluanku. Aku semakin gelagapan karena merasa  kegelian diselangkanganku sementara mulutku tersumpal batang kemaluan  Pak Marsan.
Aku ikut menyedot batang kemaluannya saat Pak Marsan menyedot  kemaluanku. Kami saling menjilat dan menyedot kemaluan kami  masing-masing dengan posisi pak wajah Marsan menyeruak ke selangkanganku  dan wajahku dikangkangi Pak Marsan.
Aku semakin menggelinjang liar saat lidah Pak Marsan mengais-ngais  lubang anusku dengan menekuk kedua pahaku ke atas. Aku sangat terangsang  dengan perlakuannya itu. Apalagi saat lidahnya dimasukkan dalam-dalam  ke lubang vaginaku. Aku tak mampu menjerit karena mulutku tersumpal  batang kemaluannya.
Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan yang menyergapku. Pak  Marsan dengan ganas menjilat-jilat tonjolan kecil di lubang kemaluanku  dengan kedua tangannya membuka lebar-lebar labia mayoraku ke arah  berlawanan. Aku tak mampu bertahan lama atas perlakuannya itu. Tubuhku  mengejan dan berkelejat seperti cacing kepanasan. Lalu tubuhku tersentak  selama beberapa saat dan akhirnya terdiam. Aku mengalami orgasme lagi  dengan cepatnya.
Pak Marsan masih membiarkan batang kemaluannya menyumpal mulutku  sambil sesekali lidahnya menyapu-nyapu dinding vulvaku. Setelah aku  mulai dapat mengatur napasku, Pak Marsan menggulingkan tubuhnya ke  samping dan menarik tubuhku agar naik ke perutnya. Ia bergeser ke arah  dekat dinding dan menumpuk beberapa bantal di belakang punggungnya  hingga posisinya kini setengah duduk.
Tubuhku ditariknya hingga menduduki perutnya lalu diangkatnya  pantatku dan dicucukannya batang kemaluannya ke lubang kemaluanku.  Dengan pelan aku menurunkan pantatku hingga batang kemaluan Pak Marsan  secara perlahan melesak ke dalam jepitan liang kemaluanku. Aku menahan  napas menikmati gesekan batang kemaluannya di dinding lubang kemaluanku.  Setelah beberapa kocokan yang kulakukan akhirnya amblaslah seluruh  batang kemaluan Pak Marsan ke dalam lubang kemaluanku.
Kini aku duduk di atas perut Pak Marsan yang setengah duduk dengan  punggung diganjal bantal. Dengan tangan bertumpu dinding tembok aku  mulai bergerak menaik-turunkan pantatku secara perlahan. Sementara itu  tangan Pak Marsan mencengkeram pantatku membantu menggerakkan pantatku  naik turun, mulutnya sibuk menetek payudaraku.
Posisi di atas merupakan salah satu posisi favoritku. Karena dengan  posisi ini aku dapat mengontrol sentuhan-sentuhan pada daerah sensitifku  dengan batang kemaluan laki-laki yang menancap di lubang kemaluanku.
“Akhh… shhh… terushhh.. Pak Mar..sanhhh”
Aku mendesis-desis saat Pak Marsan ikut mengimbangi goyanganku sambil  kedua tangannya menekan kedua payudaraku hingga kedua putingku masuk ke  dalam mulut Pak Marsan. Kedua putingku dijilat-jilat dan disedot secara  bersamaan hingga membuat nafsuku meningkat secara cepat. Aku semakin  liar menggerakkan pantatku di pangkuan Pak Marsan. Tubuhku kembali  mengejat-ngejat dan seperti terhantam aliran listrik.
“Terusshhh..terusshhh … ouchhh….”
Aku semakin liar mendesis saat kurasakan sesuatu meledak-ledak.  Tubuhku terasa terhempas ke tempat kosong lalu akhirnya aku ambruk di  dada Pak Marsan.
Pak Marsan lalu bangkit dan berganti menindihku dengan tanpa  melepaskan batang kemaluannya dari jepitan lubang kemaluanku. Bantal  yang tadi mengganjal punggungku ditaruhnya untuk mengganjal pantatku  hingga gundukan kemaluanku semakin membukit. Aku yang sudah lemas  kembali dijadikan bulan-bulanan genjotan batang kemaluannya.
Bibirnya tak henti-hentinya melumat bibirku dan pantatnya dengan  mantap memompa batang kemaluannya menusuk-nusuk lubang kemaluanku. Kedua  tangan Pak Marsan mengganjal bongkahan pantatku hingga tusukannya  kurasakan sangat dalam menumbuk perutku.
“Ughh..ughhh… putarrrhhh… Buu…putarrrhhh… ugghhh…”
Kudengar Pak Marsan mendengus memerintahku memutar pantatku.
Aku mematuhi perintahnya memutar pantatku dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
“Terushhh.. terushhh ter…oughhhh!!”
Akhirnya dengan diiringi dengusan panjang tubuh Pak Marsan  berkelojotan. Tubuhnya tersentak-sentak dan hunjaman batang kemaluannya  serasa menghantam sangat dalam karena didorong sekuat tenaga olehnya.  Batang kemaluannya berdenyut-denyut dalam jepitan liang kemaluanku.
Crottt…crott..crott…
Batang kemaluannya menyemburkan cairan kenikmatan ke dalam liang  kemaluanku. Aku merasa ada desiran hangat menyembur beberapa kali dalam  lubang kemaluanku. Nikmat sekali rasanya. Tubuh Pak Marsan masih  berkelojotan untuk beberapa saat lalu akhirnya terdiam.
“Oughh… Bu.. Ren..ni hebattthhhh…” bisiknya di telingaku dengan napas yang masih ngos-ngosan.
Tubuh kekarnya ambruk menindih tubuh telanjangku. Batang kemaluannya  dibiarkannya tertancap erat dalam jepitan liang kemaluanku. Kami berdua  sama-sama diam menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih.
Hari sudah menjelang sore saat aku bangun dari kasur Pak Marsan. Aku  kaget saat mau kupakai celana dalamku ternyata sudah basah oleh lendir  yang masih menempel. Rupanya tadi Pak Marsan menyeka lubang vaginaku  dengan celana dalamku! Sialan juga terpaksa aku tidak memakai celana  dalam.
Dengan memakai celana dan baju atasanku aku keluar ke kamar mandi dan  cebok membersihkan lubang kemaluanku dari sisa-sisa lendir sehabis  persetubuhan tadi.
Aku baru saja mau berdiri dan menaikkan celanaku saat tiba-tiba Pak  Marsan yang hanya dililit handuk ikut masuk ke kamar mandi. Belum  selesai membanahi celanaku lagi-lagi Pak Marsan merangsekku di kamar  mandinya yang terbuka.
Diturunkannya lagi celanaku hingga sebatas lutut lalu didekapnya aku  dari belakang. Bibirnya dengan ganas dan rakus menjilat dan mencumbu  daerah belakang telingaku hingga gairahku mulai terbangkit lagi.
Melihat aku sudah dalam genggamannya, dilepasnya lilitan handuknya  hingga ia telanjang bulat. Batang kemaluannya yang sudah setengah keras  menempel ketat di belahan pantatku. Aku sengaja menekan pantatku mundur  hingga menggencet batang kemaluannya semakin terbenam di antara kedua  belah buah pantatku. Kugeser-geser pantatku dengan lembut hingga  lama-kelamaan batang itu mulai mengeras lagi.
Setelah keras, dicucukkannya batang kemaluannya ke celah-celah sempit  di gundukan bukit kemaluanku lalu dikosek-kosekkannya ujungnya ke alur  sempit itu yang sudah mulai basah.
Sekali lagi kami bersetubuh dengan hanya menurunkan celana panjangku  sebatas lutut dan Pak Marsan menggenjotku lagi dengan posisi berdiri.  Aku harus bertumpu pada bak mandi yang terbuat dari gentong tanah sambil  setengah nungging sementara Pak Marsan menggenjot dari belakang.
Gila. Pak satpam satu ini memang gila! Bagaimana tidak ia punya dua  tongkat satu dapat membuat orang kesakitan sedangkan yang satunya dapat  membuat orang merem-melek keenakan! Aku pun jadi ketagihan dibuatnya dan  resmilah Pak Marsan menjadi kekasih gelapku.

 
No comments:
Post a Comment